Kamis, 08 Mei 2014
Beberapa tahun
terakhir ini, kita menyaksikan semangat masyarakat begitu besar dalam membangun
masjid. Bahkan masjid dan mushalla hampir ada di setiap tempat, tidak
terkecuali di kawasan perkantoran, bisnis, pendidikan, tempat pelayanan umum
dan wisata. Data yang dihimpun oleh Dewan Masjid Indonesia (DMI) Pusat, tercatat
ada 700 ribu masjid dan mushalla yang tersebar di seluruh penjuru tanah air.
Jumlah ini merupakan yang terbesar di dunia atau setara dengan total jumlah
keseluruhan masjid yang terbentang dari kawasan Maghribi di bagian barat Afrika
sampai Bangladesh di sebelah timurnya.
Pertumbuhan
pesat jumlah masjid dan mushalla tentu bernilai positif, karena setidaknya
mencerminkan kecenderungan menguatnya kesadaran religius dan semangat
keberagamaan di kalangan umat Islam, termasuk pula di Kota Yogyakarta.
Sayangnya dari jumlah yang besar ini,
masjid baru difungsikan sebagai tempat sujud, tempat ibadah mahdhah
saja, seperti shalat, zikir dan itikaf. Dalam pandangan Dr. KH. Miftah Farid, ketua
MUI Jawa Barat, fungsi seperti itu menunjukkan bahwa masjid hanya dimaknakan
secara sempit. Padahal masjid itu selain dipergunakan untuk ibadah kepada Allah
juga dapat difungsikan untuk kegiatan-kegiatan yang bernuansa sosial, politik,
ekonomi, ataupun kegiatan-kegiatan sosial budaya lainnya.
Berikut ini beberapa fungsi masjid dalam rangka mengembangkan potensi umat.
Pertama, pusat pendidikan dan pelatihan. Saat ini
sumber daya manusia menjadi salah satu ikon penting dalam proses peletakan batu
pertama pembangunan umat. Proses menuju ke arah pemberdayaan umat dimulai
dengan pendidikan dan aneka ragam pelatihan. Masjid seharusnya dapat
dimanfaatkan sebagai tempat berlangsungnya proses pemberdayaan tersebut, bahkan
sebagai pusat pembelajaran umat, baik dalam bentuk pengajian, pengkajian,
seminar dan diskusi, maupun pelatihan-pelatihan keterampilan, utamanya bagi jamaah di sekitarnya. Jika masjid selama ini
hanya memfasilitasi pengajian rutin kaum ibu atau bapak-bapak, semestinya dapat
pula dikembangkan dengan memberikan pelatihan-pelatihan keterampilan, baik
materi kerumahtanggaan sampai pelatihan usaha bagi mereka.
Kedua, pusat perekonomian
umat. Dalam sejarah perekonomian Indonesia, koperasi dikenal sebagai soko guru perekonomian Indonesia. Tetapi, dalam kenyataannya justru koperasi menjadi
barang yang tidak laku. Terlepas dari berbagai macam alasan mengenai koperasi,
tak ada salahnya bila masjid mengambil alih peran sebagai koperasi yang membawa
dampak positif bagi umat dilingkungannya. Bahkan lebih ekstrim lagi misalnya,
menggantikan pusat-pusat perbelanjaan grosir semacam Makro. Alfa, atau
Carrefour yang sebenarnya merupakan gudang barang-barang kebutuhan
berkonsinyasi dengan pihak produsen barang tersebut. Bila konsep koperasi
digabungkan dengan konsep perdagangan ala pusat-pusat perbelanjaan yang
diminati karena terjangkaunya harga barang, dan dikelola secara profesional oleh
dewan pengurus maka masjid akan dapat memakmurkan jamaahnya. Sehingga akhirnya jamaahnya pun akan
memakmurkan masjidnya.
Ketiga, pusat
penjaringan potensi umat. Masjid
dengan jamaah yang selalu hadir sekedar untuk menggugurkan kewajibannya
terhadap Tuhan bisa saja mencapai puluhan, ratusan, bahkan ribuan orang
jumlahnya. Ini bisa bermanfaat bagi berbagai macam usia, beraneka profesi dan
tingkat (strata) baik ekonomi maupun intelektual, bahkan sebagai tempat
berlangsungnya akulturasi budaya secara santun.
Akan tergambar dengan sangat jelas
warna-warni potensi yang dimiliki Jamaah jika masjid melakukan pendataan dan
pemetaan jamaahnya berdasarkan kebutuhan pembangunan lingkungan sekitarnya.
Paling mudah dengan membuat pendataan berdasarkan kelompok-kelompok umur,
gender, dan profesi dari jamaahnya. Sehingga terdeskripsi potensi yang bisa
digali dan dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan daerah sekitar masjid.
Misalnya, berapa jumlah Insinyur, guru, akuntan, mahasiswa, pedagang, alau
pengusaha, siswa sekolah, bidang dokter-perawat. bahkan jumlah anak yatim
piatu, fakir miskin (kaum dhuafa). Bisa juga fasilitas-fasilitas yang ada.
berapa jumlah sekolah, puskesmas, bahkan telepon umum. Yang jelas banyak yang
bisa dipetakan sehingga kita tahu apa yang kita butuhkan selanjutnya dan
bagaimana mencari solusinya.
Keempat, pusat kepustakaan. Perintah pertama
Allah kepada Nabi Muhammad adalah "membaca". Sudah sepatutnya kaum
muslim gemar membaca, dalam pengertian konseptual maupun kontekstual. Saat ini
sedikit sekali dijumpai dari kalangan golongan menengah pada tataran
intelektualnya (siswa, mahasiswa, bahkan dosen dan ustadz) mempunyai hobi
membaca. Sangat
mungkin jika saja kondisi gemar membaca diciptakan oleh masjid agar menjadi
rangsangan bagi masyarakat untuk memulainya, kondisinya akan berubah. Dengan
sendirinya hampir menjadi kemutlakan bila masjid memiliki perpustakaan sendiri.
Aminudin, M.Si
Penyuluh
Agama Islam Kota Yogyakarta
Wilayah
Kerja Kecamatan Tegalrejo
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar