You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Diberdayakan oleh Blogger.
.. SELAMAT DATANG DI WEBSITE KELOMPOK KERJA PENYULUH AGAMA ISLAM KOTA YOGYAKARTA TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN DAN APRESIASINYA.. SEMOGA BERMANFAAT DAN KESUKSESAN SELALU MENYERTAI ANDA..

Jumat, 02 Mei 2014

Tempatkan Peradaban Pasar ke dalam Peradaban Masjid

Peradaban Masjid
Dalam Sejarah Kenabian
Masjid dari segi  bahasa berasal dari kata sajada - yasjudusujudan – yang berarti patuh, taat, tunduk, hormat. Hal ini tergambar dari gerakan (orang yang sholat) antara lain; meletakkan dahi, kedua tangan, lutut dan kaki ke tanah sebagai lambang ketundukan sepenuhnya kepada Allah SWT. Sementara itu, dari segi fisik (bangunan) masjid mengekspresikan ketundukan, ketaatan dan penghormatan kepada Sang Khaliq Allah SWT. Karena begitu pentingnya fungsi masjid,  maka  di dalam Al Qur’an, kata masjid disebutkan sampai sebanyak 28 kali. Salah satunya di ayat berikut:
Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, Maka merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk (QS. At Taubah: 18).
Dalam sejarah kenabian Muhammad SAW, masjid benar-benar dapat menjadi sentral dalam menanamkan dan menumbuhkan benih keimanan, ketaqwaan dan tatanan perilaku sosial-kemasyarakatan yang berkeadaban. Tetapi, bagaimana perkembangannya dalam beberapa dekade terakhir ini?

    Munculnya Peradaban Pasar
Sejenak, mari kita merenungi dunia kita saat ini. Kemajuan teknologi ternyata tidak senantiasa seiring dengan kesejahteraan manusia. Sekitar 80 % kekayaan dunia ternyata hanya dimiliki segelintir orang, sementara manusia dunia sisanya (barangkali termasuk kita – red) hanya kecipratan 20 % saja. Gedung-gedung megah dan pabrik-pabrik kian sering dibangun, berdampingan dengan gubug-gubug kumuh yang dijejali orang. Angka agregat pertumbuhan ekonomi dikejar, namun hanya terakumulasi pada kelompok tertentu, meninggalkan anak-anak penderita busung lapar di mana-mana. Ternyata trickle down effect (efek menetes ke bawah) dari pembangunan ekonomi sering juga tidak nampak menjadi kenyataan.
Bukan hanya manusia, bumi oun kian menderita. Kerakusan manusia menyulap gunung menjadi lembah kehidupan, habitat ikan menjadi panggung kematian, bahkan hutan-hutan mengalami penggurunan. Maka berterima kasihlah karena allah masih sekadar mengirimkan pemanasan global yang mengacaukan stabilitas iklim,  karena sesungguhnya perilaku manusia sudah sangat layak untuk dihukum lebih berat.
Demikianlah akibatnya ketika manusia menjadikan pasar sebagai landasan peradabannya. Semuanya harus tunduk pada hukum permintaan dan penawaran, ketika manusia diapresiasi hanya sekadar sebagai makhluk ekonomi (homo economicus).  Semua aktivitas manusia hanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pasar. Padahal yang disebut kebutuhan dasar manusia ala peradaban pasar ini tidak terbatas. Rasulullah Muhammad SAW mengingatkan bahwa jika manusia diberi emas sebanyak gunung, maka ia akan meminta lagi.
Demikian juga, cara pandang terhadap manusia pun menjadi tereduksi. Dalam peradaban pasar, buruh hanyalah faktor produksi, bukan makhluk tertinggi yang memiliki hati. Akumulasi kapital menjadi tujuan hidup. Negara tidak boleh mengatur pasar, justru pasarlah yang menguasai negara. Maka demokrasi lebih sering menjelma menjadi plutokrasi: kuasa orang-orang kaya. Maka wajarlah jika negara-negara dunia ketiga semakin tertinggal, karena peradaban pasar ini tidak melindungi kaum yang lemah. Agama dan moralitas juga tidak boleh ikut campur dan hanya boleh menjadi urusan pribadi.
Kesengsaraan rakyat kita juga karena peradaban pasar. Peradaban pasarlah yang menciptakan keharusan mengatasi (over-production) di negara-negara industri awal (Eropa), sehingga memunculkan imperialisme yang keji. Ingatlah bahwa penjajah pertama di antara bangsa-bangsa Eropa adalah para pedagang untuk mencari keuntungan, atas restu gereja yang telah tunduk pada peradaban pasar itu. Atas nama 3G (Gold, Gospel dan Glory), VOC membatai manusia-manusia Nusantara. Spanyol memusnahkan peradaban Inca dan Maya. Inggris mengangkangi India.
Betul bahwa sekarang tidak ada lagi VOC, namun hakikat dari penjajah itu, jiwa dari imperialisme yang bernama ”peradaban pasar” itu, masih tetap berkuasa.  Peradaban pasar adalah peradaban yang menempatkan naluri hewani manusia (kebutuhan-kebutuhan ekonomi) sebagai yang teragung. Maka eksploitasi pun menjadi wajar dan kedengkian menjadi normal.
Namun demikian, pasar bukanlah untuk dihancurkan dengan revolusi ala Karl Marx dan Lenin yang memunculkan tiran baru. Bukankah para Nabi pun diutus ke pasar-pasar, seperti tersurat dalam ayat berikut:

”Dan kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar, dan kami jadikan sebahagian kamu cobaan bagi sebahagian yang lain. maukah kamu bersabar?; dan adalah Tuhanmu Maha Melihat”. (QS. Al Furqan: 20)

Perlu dicatat bahwa Nabi Muhammad SAW adalah saudagar yang sukses.

Tempatkan ke Dalam Peradan Masjid
Karena itu, pekerjaan penting  yang perlu dilakukan adalah menempatkan pasar ke dalam peradan masjid. Masjid adalah institusi sosial tempat kepedulan sosial, distribusi kekayaan serta kebersamaan manusia dibangun. Di masjid, semua orang sederajat dan saling peduli. Shalat diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Belajar dari prosesi shalat itu, maka jiwa dari peradaban masjid adalah keimanan dan pemahaman terhadap hakikat kehidupan yang berujung pada kesejahteraan masyarakat luas. Yang kaya menjadi penggerak munculnya manusia-manusia yang berdaya dan bukannya malah mencari buruh semurah-murahnya untuk dipekerjakan dan dieksploitasi tenaganya. Demikian juga, saudara-saudara kita yang miskin tidak terjerat dengki karena dieksploitasi.
Berbeda dengan pedagang-pedagang Eropa dari peradaban pasar yang haus darah, para pedagang muslim di Nusantara justru membebaskan manusia dari kasta-kasta. Orang-orang yang selama ini dianggap hina tampil percaya diri sebagai manusia seutuhnya, karena Islam menghapuskan penindasan antar golongan. Di Indonesia, perlawanan terhadap penjajah Belanda (representasi peradaban pasar) pada masa revolusi juga diawali dari perlawanan ”kaum pasar yang telah berada di dalam peradaban masjid”, yaitu Serikat Dagang Islam (1905) yang diawali dari pembenihan peradaban masjid melalui Jami’at Khair (1901) yang bermula di kawasan Solo.

H. Jazir ASP
Ketua Takmir Masjid Jogokaryan 
Yogyakarta

0 komentar:

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP