You can replace this text by going to "Layout" and then "Page Elements" section. Edit " About "

Diberdayakan oleh Blogger.
.. SELAMAT DATANG DI WEBSITE KELOMPOK KERJA PENYULUH AGAMA ISLAM KOTA YOGYAKARTA TERIMA KASIH ATAS KUNJUNGAN DAN APRESIASINYA.. SEMOGA BERMANFAAT DAN KESUKSESAN SELALU MENYERTAI ANDA..

Minggu, 07 September 2014

Ber-Qurban Sebelum Menjadi Korban

Tiap 10 Zulhijjah, ummat Islam seluruh dunia berkumpul  menjalankan ibadah shalat 'Idul Adha. Bersamaan dengan itu pula, kira-kira 2,5 juta umat Islam sedunia sedang menunaikan sebagian dari rukun haji yaitu berkumpul di Arafah melaksanakan wukuf. Kita yang belum berkesempatan memenuhi rukun Islam ke-5 ini dianjurkan menjalankan shalat 'Idul Adha sebagai wujud "partisipasi spiritual"  bagi saudara-saudara kita yang sedang mempertaruhkan hidup-mati di tanah suci.

Jadi, shalat 'Idul Adha adalah wujud dari rasa syukur dan kepasrahan diri  secara tulus-ikhlas atas karunia Allah SWT yang tak terhitung nilainya. Betapa tidak?  Allah SWT telah memberi kesempatan pada kita untuk menikmati hidup ini secara bebas dengan semua fasilitasnya, secara cuma-cuma. Di dalam shalat ‘Ied, kita mengungkapkan kebesaran Allah yang telah memberi anugerah, karunia, kenikmatan, keselamatan dan "sementara" dapat terbebas dari bencana. Karena itu, di hari sakral  'Idul Adha ini selayaknyalah kita mengucapkan takbir, tahlil dan tahmid  sebagai salah satu ekspresi kearifan, kepasrahan, ketundukan dan ke-tawadzu'-kan di tengah maha karya Allah, alam semesta.
Secara terminologis, ied artinya rasa senang yang terus menerus atau kembali lagi. Sedangkan adha artinya korban. Karena itu, dua hari raya, ‘Idul Adha dan ‘Idul Fitri pada dasarnya adalah hari yang menyenangkan. Karena di hari Idul Adha ini, kita mampu menjalankan kewajiban, yaitu ber-Qurban dengan menyembelih binatang ternak.
Qurban, di samping bermakna sosiologis-ekonomis, yaitu wujud solidaritas kemanusiaan untuk memberi rasa senang kepada orang lain, juga yang paling prinsip adalah bermakna simbolik-spiritual, yaitu kita menyembelih atau membunuh sifat-sifat kehewanan, seperti; sifat kasar,  mau menang sendiri, sombong dan sebagainya.  Dengan demikian, dengan ber-Qurban, berarti kita dapat merekonstruksi diri, mereformasi diri menjadi makhluk yang  memiliki kesadaran diri secara utuh, pengaturan diri secara mantap, motivasi tinggi, empati dan keterampilan sosial yang efektif.
Karena itu, ber-Qurban di hari ‘Idul Adha sebenarnya menjadi kewajiban, khususnya bagi orang-orang yang memiliki kecukupan ekonomi dan lebih utama lagi kecukupan kepasrahan dirinya kepada Allah SWT.  Karena dengan ber-Qurban, berarti mampu menunjukkan kapasitas diri dan  harga diri, bahwa semua yang kita miliki; badan dengan seluruh anggotanya, keluarga, harta benda, jabatan, status sosial  popularitas dan sebagainya, hanya sekedar instrumen kehidupan yang tidak berarti apa-apa. Karena itu, kita harus mampu mentransendensi diri untuk tidak terperangkap dengan semua itu, karena cepat atau lambat akan hilang dari kehidupan kita. Sebab, siapapun orangnya yang terperangkap dengan sesuatu yang material dan instrumental itu, maka cepat atau lambat ia akan terjebak pada kesenangan dan kenikmatan semu.  Dan makhluk yang paling bodoh dan hina adalah makhluk yang "merasa cukup" dengan kesenangan dan kenikmatan semu itu.
Ber-Qurban seperti dituntunkan Nabi IbrahimAS, menurut ajaran Islam tidak sekedar untuk berpesta fora menikmati lezatnya daging dari sembelihan binatang korban itu. Tetapi, penyembelihan ini dimaksudkan untuk menunjukkan kesadaran, kesediaan dan keikhlasan agar kita mau secara tulus-ikhlas mengorbankan sisi-sisi material dan instrumental dalam kehidupan kita.  Kita secara sadar mau mengorbankan kepentingan pribadi dan kepentingan sesaat, hanya semata-mata untuk mewujudkan kepentingan bersama, kepentingan kemanusiaan, seperti tersurat dalam ayat berikut:
Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan daripada kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaua kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepadamu. Dan beri kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.  (QS. Al Haj: 37)
Karena itu, ber-Qurban di hari Idul Adha memiliki dimensi makna yang luar biasa dalam konteks hidup bersama dalam keluarga bangsa, negara ataupun  dunia. Ikhlas dalam menalankan ibadah korban, benar-benar menjadi jalan bagi kita agar dapat menjadi makhluk yang bermartabat dan berkeadaban. Ini berarti bahwa dengan ber-Qurban, secara langsung atau tidak langsung menjadi jalan yang akan mengantarkan kita pada keselamatan sejati dan menjauhkan kita dari segala bentuk bencana.  Dalam konteks ini, maka berbagai bencana alam yang menimpa negri kita ini, dilihat dari sudut spiritual, tidak dapat dilepaskan dari kondisi obyektif kehidupan bangsa Indonesia dalam kesehariannya. Kita benar-benar perlu mawas diri, berkaca diri secara sungguh-sungguh,  kemungkinan besar sementara bangsa ini belum mau ber-Qurban secara tulus yang hanya mengarap ridha Allah SWT. 
Kita prihatin, jika menyaksikan pejabat-pejabat tinggi kita masih ada yang tidak mau mengorbankan ego kekuasaannya. Bahkan, ada sebagian dari mereka itu malah menyalahgunakan kekuasaannya untuk  memenuhi nafsu  “kehewanan” nya.  Bersamaan dengan itu, sebagian dari rakyat kita juga ada yang  telah kehilangan kesabaran dengan melakukan anarhirsme sosial.  Sebagian saudara-saudara kita, yang merasa tidak mampu menikmati kue pembangunan, tidak malu lagi mejadi pengemis, ada yang mengemis di perempatan-perempatan jalan kota, ada yang  menyisir dari rumah ke rumah, ada yang di angkutan umum dan hampir semua aktivitas masyarakat kita, di situ ada pengemis.
Karena itu,  kita perlu segera kembali kepada tuntunan Qurban dari Nabi Ibrahim AS. Kita perlu segera ber-Qurban, sebelum menjadi "korban" yang sebenarnya. Bisa jadi kita menjadi korban kejahatan politik, sosial, ekonomi, atau korban bencana alam dan lain-lain.
Karena itu, berbagai peristiwa seperti gempa bumi, tsunami, tanah longsor, gunung meletus dan sebagainya, bisa jadi tidak hanya menimbulkan jatuhnya korban manusia, tetapi juga dapat  menjungkir balikkan tata sosial, ekonomi, budaya, pendidikan,  kekerabatan, lingkungan dan berbagai aspek kehidupan lainnya. Karena itu, sepatutnya kita perlu belajar banyak dari berbagai peristiwa itu. Bahwa alam telah mengajarkan kita untuk selalu menyadari betapa pentingnya berkorban untuk kepentingan orang lain. Di sinilah relevansinya kesadaran untuk menunaikan ibadah Qurban di hari Raya ‘Idul Adha atau Hari Raya Haji.
Karena itu, ber-Qurban itu sebenarnya bukan sekedar bersifat ekonomis semata, tetapi lebih bersifat spiritual. Sama hanyalnya dengan ibadah haji. Artinya, bahwa kesadaran untuk ber-Qurban atau beribadah haji itu tidak sekedar mampu secara ekonomi, tetapi yang lebih penting adalah mampu secara spiritual, yaitu memiliki kesadaran ke-Illahi-an yang tinggi, kemanusiaan dan masa depan.   Bagi orang yang  dalam kehidupannya mampu melampau dimensi material dan instrumental, tidak lagi mementingkan harta benda, jabatan, popularitas dan sejenisnya, maka ia tidak berat lagi menjalankan ibadah korban atau ibadah-ibadah lainnya yang memiliki dimensi vertikal maupun horisontal.
Karena itu, agar hidup selamat dalam ridha Allah SWT, prinsipnya sebenarnya sederhana, yaitu kita rela ber-Qurban dalam arti ritual seperti di hari Idul Adha, atau ber-Qurban dalam pengertian umum (sosial), yaitu selalu berorientasi pada kemanfaatan bagi sesamanya. Sayangnya, masyarakat kita, umumnya mau ber-Qurban  setalah menjadi "korban".  Berbagai macam jenis bencana yang dapat menimbulkan korban, bisa terjadi pada siapa saja dan dimana saja.  Karena Allah, ketika menimpakan sesuatu bencana, baik  sebagai ujian, peringatan, atau azab,  tidak pandang bulu. Siapapun manusianya, entah itu pejabat tinggi, birokrat, ilmuwan, kaya-miskin, petani, rakyat jelata dan sebagainya dapat menjadi "korban" bencana. 
Peringatan Allah pada surat Al-Kautsar, surat terpendek dalam Al-Qur'an patut kita renungkan dalam-dalam, "Sesungguhnya Kami (Allah) telah memberi nikmat yang banyak, maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkorbanlah". (QS. Al Kautsar: 1-2). Dalam hal ini, ber-Qurban adalah bagian integral dari ritme kehidupan semua makhluk, khususnya manusia, sebagai ciptaan yang paling sempurna struktur kemakhlukannya, dibanding makhluk-makhluk Allah lainnya.  Ber-Qurban dalam hidup adalah bagian dari hukum alam (sunnatullah) yang tidak bisa tidak harus dapat dilakukan secara ikhlas. Ini berarti siapapun manusianya yang tidak mau ber-Qurban, akan terkena akibatnya. Apa akibat yang akan ditanggungnya? Hanya Allah yang Maha Tahu, karena Dia-lah pemegang otoritas manajemen sunatullah ini.
Akhirnya, bersamaan dengan perayaan Idul Adha di tahun 1435 ini, ada baiknya  kita mengamalkan doa Nabi Ibrahim, sebagai sumber otentik ibadah korban:
Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur" (QS. Ibrahim: 37).
Doa ini, benar-benar memiliki makna dan dimensi yang sangat mendalam dalam kehidupan nyata. Ada dimensi spiritual (shalat-Baitullah), dimensi ekologis (lembah), dimensi lingkungan (tanam-tanaman), dimensi ekonomi-produktif (buah-buahan), dimensi kema'rifatan (syukur) dan sebagainya. Idul Adha tahun ini sangat monumental, karena bersamaan dengan akan dimulainya kepemimpinan nasional yang baru. Karena itu, semoga kita dapat membangun semua dimensi itu secara sinergis, minimal dalam pribadi kita, dan lebih luas lagi bagi kehidupan berbangsa dan kemanusiaan. Insya Allah.

M. Mahlani
Ketua Kelompok Kerja
Penyuluh Agama Islam Kota Yogyakata
Sekretaris Yayasan Kemashalatan Umat Yogyakarta

0 komentar:

  © Blogger templates Newspaper III by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP