Senin, 24 Oktober 2016
Pengertian pola pengasuhan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007:885), pola
diartikan sebagai model, gambaran, sistem, cara kerja, bentuk (struktur ) yang
tetap. Asuh atau mengasuh diartikan dengan menjaga
(merawat dan mendidik). Sedangkan pengasuhan berasal dari kata asuh yang
mendapat imbuhan awalan “pe” dan akhiran “an”, yang berfungsi membentuk kata
kerja.
Toha (1996:110)
mendefinisikan pola pengasuhan sebagai cara mendidik orang tua terhadap
anak-anaknya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Cara mendidik
langsung artinya bentuk-bentuk asuhan orang tua yang berhubungan dengan
pembentukan kepribadian, kecerdasan, ketrampilan, yang dilakukan secara sengaja
baik berupa perintah, larangan, hukuman, penciptaan situasi, maupun pemberian
hadiah sebagai alat pendidikan. Cara mendidik secara tidak langsung adalah
berupa contoh kehidupan sehari-hari, baik secara tutur kata sampai kepada adat
kebiasaan, dan pola hidup antara orang tua dengan keluarga, dan
masyarakat.
Poerwadarminto (2006:65) mengartikan pengasuhan
dengan hal atau cara, (perbuatan mengasuh). Brooks
dalam bukunya “The Procces of Parenting” (2011:10) mendefinisikan pengasuhan
sebagai berikut: Sebuah proses yang merujuk pada serangkaian aksi
dan interaksi yang dilakukan orang tua untuk mendukung perkembangan anak. Proses pengasuhan bukanlah sebuah hubungan satu arah yang
mana orang tua mempengaruhi anak, namun lebih dari itu, pengasuhan merupakan
proses interaksi antara orang tua dan anak yang dipengaruhi oleh budaya dan
kelembagaan sosial dimana anak dibesarkan.
Menurut Baumrind, dalam Muallifah (2009:42), pola pengasuhan pada prinsipnya merupakan parental
control, yaitu bagaimana orang tua (pengasuh) mengontrol,
membimbing dan mendampingi anak-anaknya untuk melaksanakan tugas-tugas
perkembangan menuju proses kedewasaan.
Beberapa definisi di atas dapat ditarik
kesimpulan bahwa pola pengasuhan merupakan cara yang digunakan oleh orang tua
(pengasuh) dalam berinteraksi dengan anak-anaknya. Pola pengasuhan meliputi kegiatan merawat dan mendidik dengan
cara mengajar, mendampingi, membimbing, melatih, dan mengarahkan dalam
mengembangkan potensi anak menuju
kedewasaan.
Ruang
Lingkup Pengasuhan
Karen dalam Muallifah
(2009:43) menyatakan bahwa kualitas pengasuhan yang baik adalah kemampuan orang
tua untuk memonitor segala aktivitas anak. Prinsip pengasuhan tidak menekankan
pada siapa (pelaku) namun lebih menekankan pada aktifitas perkembangan dan pendidikan
anak. Oleh karena itu, pengasuhan meliputi pengasuhan fisik, pengasuhan mental
dan pengasuhan sosial.
Mengacu pada pernyataan di
atas dan pengertian panti asuhan itu sendiri, maka ruang lingkup pengasuhan
anak meliputi:
Pertama, pengasuhan fisik. Pengasuhan fisik mencakup semua aktifitas yang
bertujuan agar anak dapat bertahan hidup dengan baik dengan menyediakan
kebutuhan dasarnya seperti makan, minum, kehangatan, kebersihan, ketenangan
waktu tidur, dan kepuasan ketika membuang sisa metabolisme dalam tubuhnya.
Pengasuh di panti asuhan berusaha semaksimal mungkin untuk bisa memenuhi
kebutuhan fisik dari anak asuh, sebagaimana yang kita ketahui untuk mendukung
pertumbuhan dan perkembangan dari anak asuh, maka kebutuhan fisik, sebagai
kebutuhan dasar manusia untuk berlangsung hidup harus terpenuhi dengan baik.
Sebagaimana keterangan
Maslom dalam Sriyanti (2009:120) “Jika kebutuhan fisiologis yang merupakan
kebutuhan dasar manusia tidak terpenuhi maka individu tidak akan bergerak untuk
meraih kebutuhan yang lebih tinggi”. Jadi agar kemampuan atau potensi-potensi dasar
pada manusia tersebut dapat berkembang dengan maksimal maka kebutuhan dasar
manusia juga harus terpenuhi dengan baik sebelum memenuhi kebutuhan yang
lainya.
Kedua, pengasuhan mental. Pengasuhan mental adalah pengasuhan yang
berhubungan dengan jiwa anak, mencakup pendampingan ketika anak mengalami
kejadian-kejadian yang tidak menyenangkan seperti merasa terasing dari
teman-temannya, takut, atau mengalami trauma. Pengasuhan mental ini juga
mencakup pengasuhan agar anak merasa dihargai sebagai seorang individu,
mengetahui rasa dicintai, serta memperoleh kesempatan untuk menentukan pilihan
dan untuk mengetahui resikonya.
Ketiga, pengasuhan sosial. Pada dasarnya manusia adalah individu-individu
yang mempunyai kecenderungan untuk bermasyarakat (Ahid.2010:106). Oleh sebab
itu pengasuhan sosial anak ini sangat penting untuk diberikan kepada anak-anak
agar nentinya dapat bersosialisasi dengan mayarakat dengan baik. Pengasuhan
sosial bertujuan agar anak tidak merasa terasing dari lingkungan sosialnya yang
akan berpengaruh terhadap perkembangan anak pada masa-masa selanjutnya.
Pengasuhan sosial ini menjadi sangat penting karena hubungan sosial yang
dibangun dalam pengasuhan akan membentuk sudut pandang terhadap dirinya sendiri
dan lingkungannya.
Tujuan dan Fungsi Pengasuhan
Tujuan pengasuhan pada
masa kanak-kanak berbeda dengan tujuan pegasuhan pada masa remaja, kuliah
ataupun dewasa. Pengasuhan pada masa anak-anak lebih berfokus pada kondisi
fisiknya. Tujuan pengasuhan pada usia remaja berfokus pada keterampilan motorik
yang berhubungan dengan kegiatan akademis dan non akademis. Sedangkan tujuan pengasuhan pada usia kuliah
serta dewasa bertujuan untuk kegiatan pekerjaan dan sosial.
Sementara itu, fungsi
pengasuhan anak adalah memberikan
kelekatan dan ikatan emosional atau kasih sayang antara orang tua (pengasuh)
dengan anaknya (Muallifah, 2009:44). Dalam konteks kultur Indonesia maka
pengasuhan orang tua (pengasuh) berdampak terhadap sosialisasi anak-anak di
dalam struktur keluarga yang bervariasi dan berdasarkan nilai-nilai kultur
Indonesia (Casmini, 2007:13).
Macam-macam Pola Pengasuhan
Pola asuh dibagi menjadi tiga macam yaitu pola
asuh demokratis, poa asuh otoriter, pola asuh permisif.
1.
Pola asuh demokratis
Pola asuh yang demokratis
pada umumnya ditandai dengan adanya sikap terbuka antara orang tua (pengasuh)
dan anak. Mereka membuat semacam aturan-aturan yang disepakati bersama. Orang
tua (pengasuh) yang demokratis ini yaitu orang tua (pengasuh) yang mencoba
menghargai kemampuan anak secara langsung. Anak dilibatkan dan diberi
kesempatan untuk berpartisipasi dalam mengatur hidupnya (Thoha, 1996:111)
Pola pengasuhan demokratis
ini dapat menumbuhkan sikap pribadi anak yang dapat menyesuaikan diri dengan
lingkungan, mau menghargai orang lain, menerima kritikan dengan terbuka,
keadaan emosi yang stabil serta memiliki rasa tanggung jawab yang besar
(muallifah, 2009: 47)
2.
Pola asuh otoriter
Pola asuhan otoriter ini,
orang tua (pengasuh) memiliki kaidah-kaidah dan peraturan-peraturan yang kaku
dalam mengasuh anaknya. Setiap pelanggaran dikenakan hukuman. Anak tidak
memperoleh kesempatan untuk mengendalikan perbuatanperbuatannya sendiri. Mereka
dituntut untuk mematuhi kehendak orang tua atau pengasuh, meskipun ia tidak
ingin melakukan kegiatan itu.
Dengan kata lain pola asuh
otoriter adalah pola asuh yang lebih cenderung memaksakan kehendak kepada anak
tanpa memperhatikan kondisi anak itu sendiri. Sedikit sekali bahkan hampir
tidak pernah ada pujian atau tanda-tanda yang membenarkan tingkah laku anak
apabila mereka melaksanakan aturan tersebut Dari uraian di atas, maka pola asuh
otoriter orang tua (pengasuh) terhadap anak ini sebisa mungkin dihindarkan,
dikarenakan anak tidak diberi kebebaan mengekspresikan kemampuan dan kemauanya,
selalu terkekang oleh orang tua (pengasuh) sehingga potensi-potensi yang ada
dalam diri anak tidak bisa berkembang dengan maksimal.
3.
Pola asuh
permisif
Pola asuh permisif ditandai dengan adanya
kebebasan tanpa batas kepada anak untuk berbuat dan berperilaku sesuai dengan
keinginan anak. Moesono (1993: 18) menjelaskan bahwa pelaksanaan pola asuh
permisif atau dikenal pula dengan pola asuh serba membiarkan. Orang tua
(pengasuh) yang bersikap mengalah, menuruti semua keinginan, melindungi secara
berlebihan, serta memberikan atau memenuhi semua keinginan anak secara
berlebihan. Pola asuh permisif juga kurang baik diterapkan dalam pengasuhan
anak, karena dalam pola asuh ini orang tua (pengasuh) terlalu memberikan
kebebasan kepada anak, tanpa dituntut untuk bertanggung jawab atas perbuatanya.
Pola asuh ini juga dapat membuat anak merasa tidak diperhatikan oleh orang tua
(pengasuh), sehingga ikatan batin dan emosional antara orang tua (pengasuh)
dengan anak tidak terjalin dengan baik, akibatnya anak menjadi pribadi yang
kurang peka terhadap kondisi lingkungan sekitar.
Uraian di atas, mendiskripsikan
bahwa pola asuh permisif kurang baik jika diterapkan dalam mengasuh anak,
apalagi jika diterapkan di panti asuhan yang sebagian besar anak asuhnya
memerlukan perhatian dan kasih sayang. Karena, kasih sayang ini tidak mereka
dapatkan dalam lingkungan keluarga, dikarenakan mereka berasal dari keluarga
yang “kurang beruntung”.
Karmin
Fungsional Penyuluh Agama Islam
Wilayah Kerja Kecamatan Tegalrejo
Kota Yogyakarta
Sumber bacaan:
Asmani, Jamal Makmur (2009), Sekolah Life Skill: Lulus
Siap Kerja,
Yogyakarta: Diva Press
Casmini, (2007), Dasar-Dasar Pengasuhan
Kecerdasan Emosi Anak, Yogyakarta:
Nuansa Aksara.
Departemen Sosial Republik Indonesia, (1997), Panduan Pelaksanaan
Pembinaan Kesejahteraan Sosial Anak Melalui Panti Asuhan Anak. Jakarta (tidak diterbitkan)
Muallifah, (2009). Psycho
Islamic Smart Parenting,
Yogyakarta: Diva Press
Thoha, Chabib, (1996), Kapita Selekta Pendidikan
Islam,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar