A.
Pengantar
Penyuluh
Agama Islam merupakan tenaga fungsional
tertentu yang cara atau mekanisme kerjanya berbasis kemampuan (ability),
keterampilan (skill) dan kemandirian (independence). Kemampuan (ability) adalah kapasitas seseorang dalam mengerjakan berbagai jenis
pekerjaan. Misalnya kemampuan merumuskan tujuan hidup, kemampuan menggunakan
Laptop, kemampuan mengatur waktu untuk selalu disiplin diri setiap saat dan
lain-lain. Dalam hal kemampuan (ability) ini dipengaruhi oleh beberapa
hal, antara lain: tingkat pendidikan, umur, pengalaman, dan lain-lain.
Keterampilan (skill) dari kata “terampil” yang artinya
cakap, mampu, dan cekatan. Umumnya, keterampilan itu membutuhkan latihan yang teratur
(berkelanjutan) dan kemampuan dasar yang
dimiliki setiap orang. Keterampilan (skill) biasanya dipengaruhi oleh
motivasi, pengalaman dan keahlian.
Sedangkan,
kemandirian (independence) dalam
kaitannya dengan profesi Penyuluh Agama Islam, dapat dipahami bahwa setiap
pribadi penyuluh memiliki kesempatan untuk mengambil keputusan atau menentukan pilihan-pilihan
secara subyektif dalam hubungannya dengan melaksanakan pekerjaan sesuai dengan
uraian tugas yang telah ditentukan, termasuk dalam mengembangkan karir,
misalnya kenaikan pangkat/golongan juga
tergantung pada keputusan subyektif yang bersangkutan.
Karya tulis ilmiah (KTI)
bagi Penyuluh Agama Islam merupakan
bagian dari pengembangan profesi di samping menerjemahkan/menyadur kitab/buku
dan bahan lainnya di bidang penyuluhan agama serta membimbing Penyuluh Agama di bawah jenjang jabatannya. Sedangkan pengembangan profesi itu merupakan salah
satu unsur utama dari uraian kegiatan Penyuluh Agama di samping pendidikan dan
pelatihan, melaksanakan bimbingan-penyuluhan dan pembangunan, serta
pengembangan bimbingan-penyuluhan. Ini artinya bahwa secara normatif, setiap Penyuluh Agama Islam lazimnya
memiliki kemampuan (ability) dalam hal pembuatan KTI. Harapannya tentu tidak hanya dapat membuat
KTI, tetapi dapat membuat KTI secara benar dan baik (layak jual) atau dalam
konteks pengajuan kenaikan pangkat/golongan, yaitu KTI yang dapat dinilai
sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Bagaimana ini dapat dilakukan oleh seorang
penyuluh? Jawabannya adalah penyuluh
tersebut harus memiliki keterampilan (skill) yang memadai.
Dengan
demikian, sekiranya ada Penyuluh Agama yang tidak dapat membuat KTI, berarti
dia tidak memiliki kemampuan (ability) untuk mengerjakan salah satu
unsur pokok uraian tugas dari profesinya itu.
Mengapa dia tidak memiliki kemampuan demikian? Bisa jadi ia tidak sadar
atau tidak tau bahwa kemampuan membuat KTI merupakan bagian dari unsur pokok
uraian tugasnya. Atau sebenarnya sudah tau akan hal tersebut, tetapi sengaja
tidak mau membekali diri untuk memiliki kemampuan tersebut. Singkat kata, dia
tidak mau belajar tentang hal tersebut. Atau bisa jadi, sudah belajar, tetapi
tidak serius, setengah hati, atau tidak berkelanjutan. Sudah belajar, tetapi
belum bisa kemudian berhenti. Mungkin ini yang sering terjadi, sudah mengikuti
diklat KTI sampai berhari-hari, tetapi pulang dari diklat belum mampu juga
membuat KTI.
Jadi,
sekarang ini penting untuk kita pertanyakan kembali kepada diri kita masing-masing.
Bernarkah kita membutuhkan kemampuan dan keterampilan untuk membuat KTI? Selagi
kita belum tumbuh kesadaran bahwa dapat membuat KTI itu merupakan kebutuhan dasar
bagi Penyuluh Agama, karena itu bagian dari unsur utama profesinya, maka
mengikuti Bimtek atau diklat KTI berapa kalipun, kemungkinan besar tetap tidak
dapat membuat KTI.
Lain
halnya, jika belajar membuat KTI sudah menjadi bagian dari kesadaran bahwa
itu kebutuhan dasar dari profesi
Penyuluh Agama, maka sesulit apapun akan terus tumbuh semangat untuk terus
belajar dan berlatih sampai akhirnya bisa sekalipun dengan tingkat kualitas
yang masih rendah. Tetapi itu tidak masalah, karena persoalan kualitas (KTI)
adalah bagian dari proses pembelajaran yang memang harus dialami secara
langsung.
B.
Jenis-jenis KTI dalam Dupak Penyuluh Agama
Ada beberapa jenis KTI yang diakui/dapat diajukan untuk
diakukan penilaian dalam pengajuan DUPAK untuk kenaikan pangkat/golongan,
sebagai berikut:
1.
Karya
ilmiah hasil penelitian, pengkajian, survey dan atau evaluasi di bidang agama
yang dipublikasikan dalam bentuk :
a.
Buku
yang diterbitkan dan diedarkan secara nasional
b. Majalah ilmiah yang diakui instansi yang
berwenang
2.
Karya
tulis berupa tinjauan atau ulasan ilmiah hasil gagasan sendiri yang tidak
dipublikasikan tetapi didokumentasikan pada perpustakaan instansi yang
bersangkutan dalam bentuk :
a.
Buku
b.
Makalah
3.
Makalah berupa tinjauan
atau ulasan ilmiah hasil gagasan sendiri dalam bidang keagamaan yang tidak
dipublikasikan tetapi dikokumentasikan
pada perpustakaan instanasi yang bersangkutan dalam bentuk :
a.
Buku
b.
Makalah
4.
Tulisan
ilmiah populer di bidang keagamaan yang disebarluaskan melalui media masa.
5.
Menyampaikan prasaran berupa tinjauan gagasan atau ulasan
ilmiah di bidang keagamaan dalam
pertemuan ilmiah.
KTI yang umum dibuat oleh para Penyuluh Agama ketika
mengajukan Dupak adalah makalah berupa tinjauan
atau ulasan ilmiah hasil gagasan sendiri dalam bidang keagamaan yang tidak
dipublikasikan tetapi dikokumentasikan
pada perpustakaan instansi yang
bersangkutan dalam bentuk makalah yang kredit poinnya 3,5. Mengapa point ini umum dibuat, bisa jadi
paling mudah.
Kemudian, KTI yang juga sebenarnya peluangnya banyak bisa
dilakukan adalah Menyampaikan prasaran
berupa tinjauan gagasan atau ulasan ilmiah di
bidang keagamaan dalam pertemuan ilmiah. Karena forum Pokjaluh di
tingkat kabupaten secara kuantitas maupun kualitas/kapasitas personal
memungkinkan untuk membuat forum/kajian ilmiah. Sedangkan untuk tulisan
ilmiah populer di bidang keagamaan yang disebarluaskan melalui media masa, ini memerlukan kemampuan dan keterampilan terntentu, di
samping soal kesempatan yang tersedia.
Di samping KTI yang
berhubungan dengan pengembangan profesi, ada juga uraian tugas yang hampir
sejenis dengan KTI, tetapi lebih sederhana (singkat) dan merupakan bagian dari
sub unsur perencanaan bimbingan dan penyuluhan
yaitu konsep
materi bimbingan atau penyuluhan dan rumusan materi
bimbingan dan penyuluhan dalam bentuk tertulis (naskah), leaflet
dan slide (power point). Ini semua tentu membutuhkan kemampuan dan ketarampilan
spesifik untuk dapat membuatnya.
C.
Persoalan atau kesalahan dalam membuat KTI
Ada beberapa persoalan
atau kesalahan dalam membuat KTI. Secara umum dapat kita kelompokkan menjadi lima, yaitu: penentuan tema/topik/judul dan
pengembangannya, sistimatika, tata bahasa, cara penulisan, orisinalitas
tulisan.
1.
Penentuan tema/topik/judul dan pengembangannya
Penentuan tema/topik/judul merupakan langkah awah memulai menulis. Mungkin
ada sebagian yang merasa kesulitan membuat atau mencari tema/topik/judul apa
yang bisa ditulis. Jika ini terjadi pada
kita, berarti kita sebenarnya belum jelas atau belum memahmi secara detail ada
yang menjadi persoalan yang sedang kita hadapi atau persoalan yang akan kita tulis
tersebut.
Karena itu, identifikasi persoalan sampai pada perumusan masalah, kemudian
pembatasan masalah, juga pengembang masalah itu menjadi kunci kita dapat
menulis atau tidak. Ketika misalnya ada kasus; judul sudah ada, kemudian mulai
menulis, baru satu halaman pendahuluan atau baru satu atau dua alinea kemudian
mandeg, atau terasa sulit melanjutkannya.
Hal ini bisa terjadi bisanya karena kita belum menguasai persoalan
secara detail serta aspek-aspek yang berhubungan dengannya.
2.
Sistematika penulisan
Sistematika penulisan menyangkut dua hal, yaitu: Pertama,
urutan-urutan bahasan (Lazimnya dimulai dengan pendahuluan, pembahasan dan
kesimpulan) . Hal ini simpel dan mudah. Kedua, konsistensi antara
persoalan yang dikedepankan (rumusan masalah) dengan pembahasan dan kesimpulan
yang dibuat. Persoalan kedua ini butuh keterampilan dan kecermatan untuk
mengetahui atau memahami tulisan kita itu sistematis apa tidak, konsisten apa
tidak antara masalah yang kita bahas dengan kesimpulan yang kita buat.
3.
Tata bahasa
Tata bahasa umumnya
menjadi bagian paling bermasalah bagi
sebagian kecil atau malah sebagian besar pembuatan KTI di semua jenisnya. Beberapa persoalan atau kesalahan yang umum terjadi berhubungan
dengan soal tata bahasa, antara lain:
a. Tidak jelas mana subyek – predikat
dan obyek.
b. Kesalahan penggunaan kata sambung – di, pada, kepada, dan lain-lain.
Contoh:
Biasanya
oleh penasehat akan dibawa kepada pemahaman caten sebagai mahluk baik
individu maupun social, sebagai mahluk individu yang namanya makhluk ada
kewajiban untuk taat kepada Allah swt sebagai sang kholik, karena makhluk sudah
diciptakan dan diberikan semua kebutuhan
untuk hidup di muka bumi ini, termasuk kebutuhan pasangan yang juga sudah
disediakan oleh Allah swt., maka tugas utama mahluk adalah bersyukur kepadaa
sang pencipta dengan melakukan ketaatan dan penyembahan. Maka caten harus sadar
akan hal itu. Termasuk tugas satu-satunya alasan manusia diciptakan adalah agar
untuk beribadah kepada-Nya, diingatkan denngan Az-zariyat ayat
56, ke empat haafizhootul lil-ghoibi bisa
saling menjaga diri. Suami isteri harus bisa menjaga
diri sendiri karena sudah diikat dengan perikatan yang suci dan agung “mitsaaqan
ghalizhan” jangan mudah tergoda akan rayuan orang lain, karena sejarang
sudah mempunyai pasangan yang sah, tetap bias menjaga diri sendiri di
saat tidak bersama pasangan karena suatu kondisi dan keadaan seperti bekerja
dan bertugas diwaktu dan tempat lain.
c.
Memulai dengan kata depan
Contoh
Dari difinisi tersebut di
atas kita selaku orang tua dari anak-anak kita pada khususnya dan
anak-anak remaja kita generasi penerus bangsa perlu kiranya kita
berbuat untuk keselamatan mereka. Dan apa yang telah kita perbuat untuk mereka
selama ini? Persoalan remaja merupakan
persoalan keluarga, oleh karena itu kita sebagai keluarga yang bersatu
dan disatukan dalam sebuah negara kesatuan Republik Indonesia haruslah
ikut serta dalam penyelamatan anak bangsa untuk masa depan bangsa kita. Dan
kita haruslah mengambil peranan terdepan dalam hal ini sebagai wujud tanggung
jawab orang tua kepada anaknya.
d.
Berlebihan – dan, juga, selanjutnya (terlalu banyak kata sambung)
e.
Pilihan kata – kata hiperbola (tidak lugas), misalnya: menggapai, hendak, dan lain-lain.
f.
Kata depan menunjukkan tempat – disambung (salah)
Contoh: diperkotaan
(salah), yang benar (di perkotaan)
4.
Penulisan kata atau huruf salah
Penulisan huruf/kata sebenarnya masalah teknis yang sejak Sekolah dasar
sudah diajarkan. Akan tetapi kita sering kurang memperhatikan atau memang belum
paham. Beberapa penulisan yang salah dalam KTI, antara lain:
a. Huruf - Allah, ridha (a) Alloh (o)
b. Mana huruf besar- mana huruf kecil
c. Meletakkan tanda titik, koma, dan lain-lain.
d. Membuat atau memulai paragraf baru
5.
Isi tulisan/orisinalitas tulisan
Orisinalitas tulisan
merupakan bagian substansial dari KTI. Mengapa demikian? Karena orisinalitas
tulisan sekaligus menunjukkan integritas, kejujuran dan profesionalitas penulisnya. Era sekarang, sangat mudah sekali
orang mengakses tulisan orang lain melalui internet. Kadang kita temukan KTI
yang hanya kopi paste dari tulisan karya orang lain diganti dengan namanya
sendiri. Sekiranya memang itu mengambil dari sumber tertentu, buku atau
internet, maka kita harus jujur menuliskan sumbernya.
D.
Penutup
Pembuatan KTI merupakan
bagian dari sub-unsur pengembangan profesi Penyuluh Agama Islam. Sedangkan
pengembangan profesi merupakan bagian dari unsur utama uraian tugas Penyuluh
Agama Islam. Karena itu, Penyuluh Agama yang tidak memiliki kemampuan membuat
KTI, maka dapat dipertanyakan profesionalitasnya.
Membuat KTI memerlukan
kemampuan dan keterampilan khusus.
Kemampuan dan keterampilan dapat dikembangkan melalui diklat atau
latihan secara teratur dan berkelanjutan.
Perlu media artikulasi
yang tepat dan efektif untuk memfasilitasi meningkatkan kemampuan dan
keterampilan membuat KTI. Media
artikulasi yang efektif dapat melalui media cetak ataupun media internet,
misalnya blog pribadi,.
Yogyakarta, 27 November 2019
M. Mahlani
Penyuluh Agama Islam
Kota Yogyakarta
Makalah ini
dipresentasikan pada Pelatihan Karya Tulis Ilmiah bagi Penyuluh Agama Islam
Kabupaten Magelang, 27 November 2019
0 komentar:
Posting Komentar