“Setiap orang Islam yang
tertimpa musibah, misalnya terkena duri atau yang lebih ringan dari itu
sekalipun, pasti akan digunakan oleh Allah untuk menghapuskan dosa-dosa orang
itu, seperti halnya sebuah pohon ketika merontokkan daunnya”.
Itulah satu di antara sekian wasiat
Rasulullah SAW yang ditujukan kepada mereka yang tertimpa musibah. Nasehat ini dapat
dipahami sebagai salah satu cara Rasulullah menghibur atau mengurangi
kepedihan seseorang yang mendapatkan musibah, tetapi lebih dalam lagi nasehat
tersebut bisa diartikan sebagai teguran.
Sesungguhnya suatu musibah
ditimpakan bukan hanya kepada mereka yang berbuat kesalahan saja, tetapi
siapapun termasuk yang tidak berbuat salah bisa saja tertimpa musibah. Hal itu
dapat dipahami dari makna kata musibah itu sendiri, mulai dari ujian, cobaan,
kesusahan, hingga bencana dan malapetaka.
Dengan memahami berbagai arti musibah
tersebut, maka siapapun, kapanpun dan dimanapun memiliki peluang yang sama
mendapatkan musibah. Yang membedakan adalah cara atau sikap dalam menerima
serta memandang suatu musibah. Oleh karena itu diperlukan cara pandang yang
positif terhadap musibah, baik dari sisi agama maupun budaya.
Dari sisi agama, musibah dipahami
sebagai satu kepastian dan sunnatullah. Setiap orang tidak mungkin
dengan mudah akan masuk surga Allah tanpa melalui penderitaan dan cobaan
(Al-Baqarah 214). Penderitaan dan cobaan akan diberikan kepada umat manusia
selama menjalani kehidupannya di dunia, sebab cobaan baru berhenti kalau kita
sudah di akherat, di dalam surga Allah. Jadi selama ada kehidupan dunia, selama
itu pula cobaan akan datang silih berganti, meskipun dalam bentuk dan kadar
yang berbeda.
Atas dasar agama dan keimanan yang
kuat, kehadiran cobaan dan derita hidup akan mampu dihadapi dengan lapang dada
dan hati yang ikhlas. Ia ibarat pemanis dan pelezat kehidupan, tanpanya hidup
terasa tidak enak dan hambar. Dengan keyakinan yang kuat dan tekad yang
membaja, akan disongsong cobaan itu dengan lapang dada dan ksatria. Akhirnya,
segala cobaan dan derita akan dilalui dengan sabar dan tawakal seraya berjuang
sungguh-sungguh mengatasinya serta mencari jalan keluar dari cobaan itu.
Tatkala ikhtiar sudah maksimal, segala daya upaya sudah dikerjakan, maka tugas
selanjutnya hanyalah berdoa dan menyerahkan semuanya kepada Allah (Yusuf 86).
Rintihan dan pengakuan akan ketidakberdayaan disampaikan
kepadaNya (Ali Imran 183). Kepedihan dan segala keluh kesah akhirnyapun
diadukan kepadaNya (Yusuf 86).
Adapun dari kacamata budaya
(falsafah) Jawa, musibah yang identik dengan penderitaan sangat erat kaitannya
dengan hakekat hidup. Inti dari hakekat hidup adalah kesadaran yang tumbuh
dalam setiap jiwa manusia, bahwa hidup itu tidak selalu seperti yang kita
kehendaki. Pangkal penderitaan bukan muncul dan disebabkan oleh faktor external manusia, tetapi justru dari dalam diri manusia itu sendiri,
yaitu perasaan. Dalam diri manusia ada dua macam rasa, yaitu rasa yang
merasai dan rasa yang dirasai. Rasa yang merasai menggunakan hati
sebagai alatnya, maka kita harus pandai-pandai menata hati (noto ati)
kita. Kalau manusia tidak bisa menata hatinya dengan baik, maka yang muncul
adalah ketimpangan perasaan sebagai akibat ketidaksesuaian antara hidup yang
kita kehendaki dengan hidup yang sedang kita rasakan yang mungkin
dianggap sebagai penderitaan. Itulah sumber penderitaan yang sesungguhnya.
Demikian juga dalam menyikapi rasa
takut, falsafah Jawa mengajarkan bahwa rasa takut erat kaitannya dengan hakekat
hidup juga. Sebenarnya yang ditakuti oleh manusia adalah keadaan hidup yang
tidak kekal. Hal ini diakibatkan oleh penafsiran serta penggunaan harta benda
secara salah. Harta benda yang semestinya digunakan untuk memenuhi kebutuhan
raga salah dipahami, kemudian digunakan untuk memenuhi kebutuhan jiwa, sehingga
harta yang seharusnya dicari sekedar cukup untuk hidup menjadi harta yang harus
ditimbun. Penimbunan harta inilah merupakan bentuk penjelmaan dari rasa ingin
hidup kekal, sebab jiwa tidak pernah terpuaskan dan merasa bosan. Kalau hidup
kekal sudah bersenyawa dengan harta, orang akan takut kekurangan dan kehilangan
harta bendanya (Wejangan Ki Ageng Suryomentaram).

Falsafah Jawa lainnya yang tidak kalah penting
adalah tentang hirarki keberuntungan. Untung bukan yang berarti lawan kata
rugi, tetapi lebih mengarah kepada anugerah dan selamat, yang dalam bahasa Jawa
dipergunakan kata “bejo” Misalnya dalam unen-unen atau pepatah
Jawa “wong pinter kalah karo wong bejo” (orang pandai kalah dengan orang
yang beruntung). Hirarki keberuntungan ini oleh masyarakat Jawa selalu
dipergunakan pada saat seseorang tertimpa satu musibah. Artinya menderita dan
tertimpa musibah seperti apapun, seseorang itu masih dinilai beruntung (isih
bejo). Ketika orang kehilangan rumah karena hancur akibat tertimpa pesawat,
yang keluar dari mulutnya bukan ratapan kehilangan tempat tinggal, tetapi rasa
syukur dan merasa beruntung karena bisa terhindar dari kobaran api yang
menghanguskan rumahnya. Bagi yang terluka atau bahkan kehilangan anggota
badannya, iapun masih merasa beruntung karena bisa selamat atau terhindar dari
kematian. Demikianlah hirarki keberuntungan yang selalu menilai dan
membandingkan sesuatu dengan yang lebih baik dan bernilai bagi seseorang.
Bahkan kematianpun dianggap sebagai keberuntungan karena dinilai lebih baik
dari pada hidup tetapi penuh kesusahan dan penderitaan. Dengan falsafah
keberuntungan inilah akhirnya menimbulkan sifat “nrimo” (menerima) atau
dalam bahasa agama disebut memiliki sifat qona’ah.
Ketika seseorang sudah memiliki sifat menerima
(nrimo), dalam jiwanya akan tumbuh pribadi yang ulet, sabar dan
semangat. Meskipun tertimpa musibah, dengan sisa kekuatan yang ada tetap
berusaha bangkit untuk meniti, menata dan menatap kehidupan di masa datang
lebih cemerlang. Sifat nrimo dan sabar dijalani tidak dengan cara-cara
pasif dan pesimis, tetapi dilandasi keteguhan hati dan tidak mudah berkeluh
kesah, disamping tetap memiliki daya juang dan daya usaha yang tinggi serta
optimis akan datangnya pertolongan Allah.
Agama telah mendidik kita, bahwa sabar adalah
menerima segala keputusan dan pemberian Allah dengan ridla,
ikhlas dan tabah. Hidup tidak lebih dari dua pilihan yang silih berganti
menghampiri manusia, bahagia derita, suka duka, senyum dan air mata. Tidak ada
kebahagiaan tanpa penderitaan, tidak ada keberhasilan tanpa jerih payah. Hanya
dengan kesabaran itulah yang dapat melepaskan manusia dari keputusasaan, dan
dengan sabar kita akan memperoleh kemenangan, keberhasilan dan kemudahan.
Keberhasilan dan kesuksesan hidup tidak mungkin
tercapai tanpa ada kesabaran. Ibarat genting yang selalu menempati posisi
tertinggi setiap bangunan, kedudukan itu tidak serta merta didapatkannya dengan
mudah. Di tempat paling bawah dan tidak bernilai, dari situlah ia berasal.
Sebongkah tanah liat harus benar-benar tabah menjalani proses sebelum menjadi
genting. Sejak awal ia sudah menerima tempaan yang luar biasa, dicangkul,
diinjak-injak, dibanting dan ditumbuk. Setelah dicetak ia harus dijemur di
bawah terik matahari berhari-hari. Belum hilang rasa panas yang menyengat, bara
api sudah menunggunya, ia harus dibakar dengan suhu yang lebih panas dari
sebelumnya. Itulah perjalanan panjang sebuah genting yang penuh perjuangan tetapi
tetap sabar menjalaninya hingga akhirnya ia mencapai puncak ketinggian.
Gufron Su’udi, S.Ag
Kepala Kantor Urusan Agama (KUA)
Kecamatan Pakualaman
Kota Yogyakarta
0 komentar:
Posting Komentar