Senin, 13 November 2017
Keluarga
merupakan pilar utama penyangga berdirinya bangunan masyarakat. Bagaimana corak
ditentukan kehidupan sebuah masyarakat dan
bagaimana pola ataupun gaya hidup masyarakat itu, banyak oleh pola dan gaya hidup keluarga
yang ada di dalamnya. Dengan demikian,
keluarga merupakan pintu utama dalam membangun
masyarakat yang berbudaya, berkeadaban dan maju. Untuk menterjemahkan pemahaman
seperti ini, maka kita perlu memahami visi dalam membangun sebuah keluarga.
Visi
pembentukan keluarga menurut Islam
adalah untuk menciptakan kemuliaan hidup di dunia dan keselamatan hidup di
akhirat. Kemuliaan hidup di dunia ini, ditandai dengan adanya keimanan dan
ketaqwaan yang dimanifestasikan dalam kondisi hidup yang santun, tentram,
damai, dan sejahtera di dalam lingkungan
keluarga. Pola hubungan yang terbentuk di antara sesama anggota keluarga
didasari atas kasih-sayang. Tidak ada pola hubungan yang bersifat eksploitatif,
manipulatif ataupun profokatif yang bisa menciptakan suasana saling curiga,
saling terpaksa, rasa takut dan perasaan-perasaan lain yang bisa disebut
sebagai gangguan mental. Karena itu, bangunan keluarga yang dipesankan agama
Islam , adalah keluarga yang dapat menumbuhkan benih-benih ketentraman dan kasih-sayang, seperti yang telah Allah tegaskan dalam ayat berikut :
“Dan
di antara tanda-tanda kekuasaa-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan
dijadikan-Nya rasa cinta dan kasih sayang di antaramu. Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang berpikir”. (QS. Ar-Ruum, 30:21)
Jadi,
jelaslah bahwa secara religius dan etis, adalah wajib bagi semua kaum laki-laki
dan perempuan untuk menikah, membentuk institusi keluarga, Karena, keluarga
inilah yang dapat menjadi wahana paling efektif membina mentalitas SDM yang
berkualitas. Kualitas hidup berkeluarga, dapat ditandai minimal lima aspek,
yaitu; religiusitas, pendidikan, ekonomi, kesehatan, dan keseimbangan hubungan
antar anggota keluarga dan sesama keluarga (masyarakat).
Bahwa
keluarga yang kita bangun menjadi sebuah komunitas kecil; ada ayah/istri,
putra-putri yang selalu ceria dan
mungkin anggota keluarga lainnya, adalah media yang paling efektif untuk
menanamkan dasar-dasar pribadi yang sempurna (kamilan) dan proyeksinya menjadi
komunitas terbaik:
“Kamu adalah umat
yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan
mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah”. (QS.
Ali ‘Imran, 3:110)
Dalam konteks ini, maka pembentukan keluarga menurut Islam bukan sekedar
untuk menyalurkan kebutuhan seksual; sekalipun Islam sendiri juga tidak
mengutuk kebutuhan biologis setiap manusia itu. Justru Islam memandang
bahwa kebutuhan seksual adalah suci, penting dan baik. Karena itu, Islam tidak hanya mengizinkan, bahkan
menganjurkan kita - semua manusia -
laki-laki dan perempuan agar memenuhi kebutuhan seksual itu. Akan tetapi, Islam
tidak menganggap seks sebagai satu-satunya tujuan dalam pembentukan keluarga.
Sebab, pesan utama pembentukan keluarga
ini adalah sebagai materi bagi sebagian
besar terlaksananya ketentuan moral. Karena itu, Islam memandang keluarga adalah mutlak perlu bagi pemenuhan
tujuan Allah SWT dalam menciptakan tata kosmis, yaitu alam semesta ini dengan
semua kehidupannya.
Sebagai
wahana pembinaan mentalitas SDM yang berkualitas, maka keluarga yang dibangun
atas dasar keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT, dalam penterjemahannya
diproyeksikan dapat menumbukan rasa cinta, kasih dan sayang di antara sesama
anggota keluarga. Hak-hak dan kewajiban
semua anggota keluarga; ayah, ibu, anak-anak dan ataupun semua orang yang ada
didalamnya bisa saling percaya, saling menghargai kelebihan dan kekurangan
masing-masing, saling melindungi, saling membantu dan semua persoalan yang
timbul di dalam keluarga itu dapat dipecahkan secara bersama-sama. Dengan
demikian, semua anggota keluarga bisa merasa aman, tentram, damai, berpikiran
jernih dan berhati lapang. Tidak ada
persoalan yang tidak bisa dibicarakan dari hati ke hati atas dasar kebersamaan
dan bukan semata-mata atas dasar untung
dan rugi.
Kondisi
keluarga seperti di atas, dimungkinkan dapat
menumbuhkan sifat dan perilaku pribadi yang santun, pandai menghargai
hak-hak sesamanya, penuh gagasan, dan iklim kinerja keluarga yang baik. Dalam
keluarga itu, yang terlihat adalah
suasana kebersamaan, yang terasa adalah kesejukan, yang terdengar adalah
suara-suara kemerduan dari tutur sapa atau ungkapan-ungkapan bahasa komunikasi
yang santun. Prinsipnya, dalam keluarga itu telah terbentuk tata nilai, tata krama dan tata tertib yang
secara sinergis membentuk pribadi keluarga yang memiliki mentalitas SDM
berkualitas.
Mentalitas
SDM bisa diartikan sebagai keseluruhan
dari isi serta kemampuan alam pikiran dan alam jiwa manusia dalam hal menggapi
lingkungannya. Karena itu, mentalitas ini merupakan hasil dari proses sinergi
antara sistem nilai budaya dan sikap mental yang tumbuh dalam pribadi seseorang
atau sekelompok masyarakat. Sistem nilai budaya adalah konsepsi-konsepsi yang
hidup dalam alam pikiran sebagian atau
besar warga masyarakat, mengenai hal-hal yang harus mereka anggap amat
bernilai dalam hidup.
Sementara
itu, sikap mental adalah suatu disposisi
atau keadaan mental di dalam jiwa dan diri seorang individu untuk bereaksi terhadap lingkungannya (baik lingkungan manusia atau masyarakatnya, baik lingkungan
alamiahnya, maupun lingkungannya fisiknya). Dengan demikian, mentalitas SDM ini
merupakan implikasi psikologis yang
terbentuk pada diri seseorang sebagai sinergi dari proses nilai yang ada dalam
diri seseorang dengan sikap pribadinya. Ini berarti bahwa jiwa dalam diri
seseorang telah tumbuh nilai-nilai kebersamaan, persaudaraan, keadilan, kasih sayang
dan sebagainya, dan bersamaan dengan itu, lingkungan orang tersebut (khususnya
lingkungan yang paling intens bersentuhan dengan pribadinya adalah keluarga)
akan membentuk sikap diri yang kuat (berupa keyakinan diri terhadap kekuatan
yang menciptakan nilai-nilai itu, yaitu Allah SWT), dan pada akhirnya akan
menciptakan citra diri yang positif, optimistis dan demokratis.
Untuk
membentuk pribadi seseorang seperti di atas, maka penguatan agama dalam
keluarga akanmenjadi dasar pembentukan moral pribadi yang kuat. Tanpa itu, maka
keluarga itu akan menghadapi berbagai macam persoalan yang pada akhirnya,
keluarga itu akan rapuh dan hancur.
Bahwa
agama itu bukan semata pengetahuan. Karena itu, penguatan agama di dalam
keluarga tidak cukup sebatas semua anggota keluarga memiliki pengetahuan luas
mengenai agama. Betul bahwa pengetahuan itu penting, tetapi yang lebih penting
lagi adalah kesadaran dan kemampuan mengamlkan pesan-pesan agama iu dalam
bentuk sikap dan perilaku keseharian dalam keluarga.
Berikut
ini beberapa indikator bahwa dalam keluarga
itu telah tumbuh pesan-pesan agama, antara lain:
1. Semua
anggota keluarga, ada ayah, ibu, anak-anak dan lainnya (jika ada) dapat
melakukan kewajiban dan haknya masing-masing. Suami memiliki kewajiban terhadap
istri dan demikian sebaliknya. Demikian juga orang tua (ayah-ibu) memiliki
kewajiban terhadap anak dan sebaliknya.
Orang tua berkawajiban menjaga seluruh anggota keluarga dari dikap dan
perilaku keji dan munkar, sebagaimana firman Allah SWT:
Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari
api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap
apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan (QS. At Tahrim, 66 :6)
Terutama dalam hal ini, bahwa orang tua dalam menjaga
keluarga dari api neraka itu melalui pendidikan yang baik bagi seluruh anggota
keluarga, utamanya bagi anak-anak.
2. Menciptakan
hubungan komunikasi di antara semua anggota keluarga secara terbuka, jujur dan
santun yang didasari saling percaya di antara semua anggota keluarga.
Komunikasi yang dibangun haru dapat membiasakan dengan bahasa atau ungkapan
yang baik dan berarti yang dapat menumbuhkan semangat beramal shaleh.
3. Menerapkan
hidup sederhana dalam semua aspeknya, utamanya dalam hal pemenuhan kebutuhan
rumah tangga, konsumsi keluarga, dan sebagainya.
4. Membiasakan ucapan atau ungkapan-ungkapan yang
baik dalam setiap kegiatan keluarga. Misalnya; berdoa sebelum dan sesudah
makan, mengucapkan bismillahirrahmanirrahiim ketika memulai suatu pekerjaan dan
alhamdulillahirabbil ‘aalamiin ketika selesai mengerjakan suatu pekerjaan,
mengucap salam ketika keluar dan atau masuk rumah dan sebagainya.
5. Mengihias
rumah dengan barang-barang yang baik dan bermakna. Misalanya menempelkan gambar
di dinding dengan gambar/foto tokoh yang panatas diteladani atau tokoh yang
dapat menginspirasi hidup ke depan.
6. Hubungan
baik dengan tetangga dan lingkungan sosialnya.
Untuk menciptakan tata keluarga seperti di atas, tentu merupakan kerja
besar yang sarat dengan tantangan. Namun demikian, semua kembali kepada seluruh
anggota keluarga agar berkomitmen untuk menghidupkan nilai-nilai agama dalam
perilaku kesehariannya. Karena itu, ini memerlukan usaha secara lahiriah
(ikhtiar yang bersungguh-sungguh) dari semua anggota keluarga dan do’a kepada
Allah SWT.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar