Senin, 23 Juni 2014
Puasa adalah ibadah yang
hampir sama universalnya seperti shalat. Universal artinya bahwa puasa ini juga
dilakukan oleh umat-umat terdahulu sebelum kedatangan Islam. Pada zaman apa saja, dan di kalangan umat apa
saja, puasa merupakan kebiasaan yang banyak dikerjakan pada waktu berkabung,
duka cita dan ditimpa malapetaka. Di kalangan umat Hindu, puasa itu sangat
populer. Demikian pula Yesus Kristus mewajibkan puasa kepada umat Kristen. ”Dan
apabila kamu berpuasa, janganlah muram mukamu seperti orang munafik. Mereka
mengubah air mukanya, supaya orang melihat bahwa mereka sedang berpuasa. Aku
berkata kepadamu: Sesungguhnya mereka sudah mendapat upahnya. Tetapi apabila engkau
berpuasa, minyakilah kepalamu dan cucilah mukamu” (Matius 6: 16-17).
Tetapi Islam
memperkenalkan arti puasa yang baru sama sekali. Sebelum Islam, puasa hanyalah
dimaksud untuk mengurangi makan, minum
dan tidur pada waktu berkabung dan berduka cita; tetapi oleh Islam, puasa
dijadikan peraturan untuk meninggikan akhlak dan rohani manusia.
Jadi, puasa
Ramadhan merupakan ibadah ritual
yang dilakukan dengan aturan yang permanen, yaitu
dengan menahan makan, minum, syahwat dan segala sesuatu yang bisa membatalkannya,
sejak terbit fajar sampai terbenam matahari. Aturan yang permanen
ini, dimaksudkan untuk melatih disiplin
jasmani, rohani dan akhlak kita. Relevan dengan maksud itu, Rasulullah
SAW bersabda:
"Puasa
adalah perisai, maka dari itu orang yang sedang puasa
janganlah berbicara
kotor...dan sesungguhnya bau mulut orang yang
berpuasa itu lebih harum
bagi Allah daripada
minyak kesturi; ia
berpantang makan, minum dan
syahwat hanya untuk mencari ridha-Ku; puasa hanyalah untuk-Ku."(HR.Bukhari).
Berpantang makan dan minum pada saat orang biasa melakukannya
sehari-hari dan dilakukan dengan berulang-ulang (teratur)
selama sebulan, di satu sisi, akan
meningkatkan kekuatan dan memperlancar
alat pencernaan. Sementara di sisi lain, puasa juga menjadi
media pelatihan bagi kita untuk dapat menghadapi berbagai tantangan
atau bahkan kesukaran hidup. Dengan begitu,
fisik, jiwa dan mentalitas kita akan
benar-benar terlatih dan memiliki daya resistensi yang tinggi terhadap
tantangan dari dalam ataupun luar. Karena itu, orang yang berpuasa akan selalu siap
menghadapi hidup dalam kondisi atau situasi apapun, tanpa harus mengalami gangguan psikologis (psycological
shock).
Akibat lebih jauh,
maka proses hidup orang yang berpuasa akan selalu stabil emosinya,
etos kerjanya, produktifitas
karyanya dan daya kreatifnya.
Di samping itu,
bagi orang yang berpuasa, tidak ada godaan yang paling besar
daripada godaan makan, minum dan syahwat, apabila ketiganya telah
tersedia. Namun demikian, betapapun dahsyatnya godaan itu,
tetap mampu diatasinya dengan
sabar dan penuh keimanan. Usaha untuk
mengatasi godaan semacam
itu yang dilakukan tidak hanya sekali atau dua kali, tetapi secara
terus-menerus selama satu bulan, benar-benar akan melahirkan kesadaran dan kemampuan untuk menjaga
kontinuitas dalam mengatasi berbagai godaan hidup sehari-hari. Lebih dari
itu, kemampuan mengatasi godaan itu
tanpa didasari oleh interest
yang bersifat ekonomis, psikologis atau biologis belaka, tetapi
semata-mata hanya untuk meraih keridhaan Allah SWT.
Bagaimana tidak hal
seperti di atas bisa terjadi? Ya, di
saat panas terik membakar bumi, lapar dan dahaga
menyertai aktivitas pekerjaan sepanjang hari dan walaupun makanan
lezat serta minuman segar telah tersedia, tetapi orang yang berpuasa tetap
menahan diri, tidak mau menyentuh makanan dan minuman sedikitpun. Sebab
pada saat-saat kritis seperti itu, bagi orang yang berpuasa, yang
dilandasi dengan semangat imaanan wahtisaban tercetus suara batin,
“Allah ada di sampingku, dan Allah
melihatku”.
Karena itu,
tidak ada ibadah yang mampu
menumbuhkan perasaan dekat kepada Allah, selain ibadah puasa.
Kehadiran Allah dalam diri orang yang berpuasa, tidak saja berada pada
tingkat iman saja, tetapi telah menjadi kenyataan atau realitas dalam kesadaran kemanusiaanya.
Itulah hakekat dari
disiplin rohani dan akhlak tingkat
tinggi. Artinya bahwa kesadaran
akan adanya hidup yang lebih tinggi,
lebih tinggi daripada hidup yang
hanya untuk makan dan minum atau mengumbar nafsu syahwat belaka.
Jadi, dengan
puasa, berarti kita dapat
menaklukkan nafsu jasmani. Dan dengan terbiasa mengatur waktu
makan atau minum, niscaya akan menumbuhkan kedisiplinan
hidup. Dan lebih tinggi dari
itu, dengan puasa kita bukan
lagi menjadi budak nafsu makan, minum atau syahwat, melainkan kita itu akan benar-benar menjadi
majikan yang sesungguhnya. Karena itu, pribadi kita mampu mengendalikan nafsu sesuai dengan keinginan kita.
Akhirnya, semoga
puasa yang kita lakukan benar-benar akan menumbuhkan disiplin rohani dan akhlak
yang menjadi dasar penampilan pribadi dalam kehidupan sehari-hari. Wallahu a’lam.
M. Mahlani
Ketua Pokja Penyuluh Agama Islam
Kota Yogyakarta
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar