Peradaban Masjid
Dalam Sejarah
Kenabian
Masjid dari segi bahasa berasal dari kata sajada - yasjudu
– sujudan – yang berarti patuh, taat, tunduk, hormat. Hal ini tergambar
dari gerakan (orang yang sholat) antara lain; meletakkan dahi, kedua tangan,
lutut dan kaki ke tanah sebagai lambang ketundukan sepenuhnya kepada Allah SWT.
Sementara itu, dari segi fisik (bangunan) masjid mengekspresikan ketundukan,
ketaatan dan penghormatan kepada Sang Khaliq Allah SWT. Karena begitu
pentingnya fungsi masjid, maka di dalam Al Qur’an, kata masjid disebutkan sampai
sebanyak 28 kali. Salah satunya di ayat berikut:
Hanya yang
memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan
hari Kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat dan tidak takut
(kepada siapapun) selain kepada Allah, Maka merekalah orang-orang yang
diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk (QS. At Taubah: 18).
Dalam sejarah
kenabian Muhammad SAW, masjid benar-benar dapat menjadi sentral dalam
menanamkan dan menumbuhkan benih keimanan, ketaqwaan dan tatanan perilaku
sosial-kemasyarakatan yang berkeadaban. Tetapi, bagaimana perkembangannya dalam
beberapa dekade terakhir ini?
Munculnya Peradaban Pasar
Sejenak, mari kita merenungi dunia kita saat ini. Kemajuan
teknologi ternyata tidak senantiasa seiring dengan kesejahteraan manusia.
Sekitar 80 % kekayaan dunia ternyata hanya dimiliki segelintir orang, sementara
manusia dunia sisanya (barangkali termasuk kita – red) hanya kecipratan 20 %
saja. Gedung-gedung megah dan pabrik-pabrik kian sering dibangun, berdampingan
dengan gubug-gubug kumuh yang dijejali orang. Angka agregat pertumbuhan ekonomi
dikejar, namun hanya terakumulasi pada kelompok tertentu, meninggalkan anak-anak
penderita busung lapar di mana-mana. Ternyata trickle down effect (efek
menetes ke bawah) dari pembangunan ekonomi sering juga tidak nampak menjadi
kenyataan.
Bukan hanya manusia, bumi oun kian menderita.
Kerakusan manusia menyulap gunung menjadi lembah kehidupan, habitat ikan
menjadi panggung kematian, bahkan hutan-hutan mengalami penggurunan. Maka
berterima kasihlah karena allah masih sekadar mengirimkan pemanasan global yang
mengacaukan stabilitas iklim, karena
sesungguhnya perilaku manusia sudah sangat layak untuk dihukum lebih berat.
Demikianlah akibatnya ketika manusia menjadikan
pasar sebagai landasan peradabannya. Semuanya harus tunduk pada hukum permintaan dan penawaran, ketika manusia diapresiasi hanya sekadar sebagai
makhluk ekonomi (homo economicus).
Semua aktivitas manusia hanya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan pasar.
Padahal yang disebut kebutuhan dasar manusia ala peradaban pasar ini tidak
terbatas. Rasulullah Muhammad SAW mengingatkan bahwa jika manusia diberi emas
sebanyak gunung, maka ia akan meminta lagi.
Demikian juga, cara pandang terhadap manusia pun menjadi
tereduksi. Dalam peradaban pasar, buruh hanyalah faktor produksi, bukan makhluk
tertinggi yang memiliki hati. Akumulasi kapital menjadi tujuan hidup. Negara
tidak boleh mengatur pasar, justru pasarlah yang menguasai negara. Maka
demokrasi lebih sering menjelma menjadi plutokrasi: kuasa orang-orang kaya.
Maka wajarlah jika negara-negara dunia ketiga semakin tertinggal, karena
peradaban pasar ini tidak melindungi kaum yang lemah. Agama dan moralitas juga
tidak boleh ikut campur dan hanya boleh menjadi urusan pribadi.
Kesengsaraan rakyat kita juga karena peradaban pasar. Peradaban pasarlah yang menciptakan keharusan mengatasi (over-production)
di negara-negara industri awal (Eropa), sehingga memunculkan imperialisme yang
keji. Ingatlah bahwa penjajah pertama di antara bangsa-bangsa Eropa adalah para
pedagang untuk mencari keuntungan, atas restu gereja yang telah tunduk pada
peradaban pasar itu. Atas nama 3G (Gold, Gospel dan Glory), VOC membatai manusia-manusia Nusantara. Spanyol memusnahkan peradaban Inca dan
Maya. Inggris mengangkangi India.
Betul bahwa sekarang tidak ada lagi VOC, namun
hakikat dari penjajah itu, jiwa dari imperialisme yang bernama ”peradaban
pasar” itu, masih tetap berkuasa. Peradaban pasar adalah peradaban yang menempatkan naluri hewani manusia
(kebutuhan-kebutuhan ekonomi) sebagai yang teragung. Maka eksploitasi pun
menjadi wajar dan kedengkian menjadi
normal.
Namun demikian, pasar bukanlah untuk dihancurkan
dengan revolusi ala Karl Marx dan Lenin yang memunculkan tiran baru. Bukankah
para Nabi pun diutus ke pasar-pasar, seperti tersurat dalam ayat berikut:
”Dan kami tidak mengutus rasul-rasul sebelummu, melainkan mereka sungguh
memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar, dan kami jadikan sebahagian kamu cobaan bagi sebahagian
yang lain. maukah kamu bersabar?; dan adalah Tuhanmu Maha Melihat”. (QS. Al Furqan: 20)
Perlu dicatat
bahwa Nabi Muhammad SAW adalah saudagar yang sukses.
Tempatkan ke Dalam Peradan Masjid
Karena itu,
pekerjaan penting yang perlu
dilakukan adalah menempatkan pasar ke dalam peradan masjid. Masjid
adalah institusi sosial tempat kepedulan sosial, distribusi kekayaan serta
kebersamaan manusia dibangun. Di masjid, semua orang sederajat dan saling
peduli. Shalat diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Belajar
dari prosesi shalat itu, maka jiwa dari peradaban masjid adalah keimanan dan
pemahaman terhadap hakikat kehidupan yang berujung pada kesejahteraan
masyarakat luas. Yang kaya menjadi penggerak munculnya manusia-manusia yang
berdaya dan bukannya malah mencari buruh semurah-murahnya untuk dipekerjakan
dan dieksploitasi tenaganya. Demikian juga, saudara-saudara kita yang miskin tidak terjerat
dengki karena dieksploitasi.
Berbeda dengan
pedagang-pedagang Eropa dari peradaban pasar yang haus darah, para pedagang
muslim di Nusantara justru membebaskan manusia dari kasta-kasta. Orang-orang
yang selama ini dianggap hina tampil percaya diri sebagai manusia seutuhnya,
karena Islam menghapuskan penindasan antar golongan. Di Indonesia, perlawanan
terhadap penjajah Belanda (representasi peradaban pasar) pada masa revolusi
juga diawali dari perlawanan ”kaum pasar yang telah berada di dalam
peradaban masjid”, yaitu Serikat Dagang Islam (1905) yang diawali dari
pembenihan peradaban masjid melalui Jami’at Khair
(1901) yang bermula di kawasan Solo.
H. Jazir ASP
Ketua Takmir Masjid Jogokaryan
Yogyakarta
0 komentar:
Posting Komentar