Memecahkan Keterbatasan Diri Menuju Pribadi Berkelimpahan
- Saya merasa sibuk (I am so busy).Perasaan ini dapat menjadikan keterbatasan diri. Banyak orang yang sehari semalam habis waktunya untuk bekerja. Bahkan merasa bahwa waktu sehari semalam 24 jam rasanya tidak cukup untuk memenuhi target perkerjaan yang harus dilakukan. Orang yang demikian sepanjang hari-harinya dikendalikan oleh waktu. Akibatnya, orang yang demikian tidak lagi memiliki waktu sedikitpun untuk merenung, berefleksi diri, menghadap kepada Allah SWT secara nyaman - tanpa tergesa-gesa dikejar oleh waktu. Akibatnya, orang yang seperti ini hidupnya seperti mesin, mekanis dan tidak lagi memperhitungkan sisi-sisi kemanusiaannya. Karena itu, persoalan utamanya menyikapi perasaan pertama ini adalah: ”Jangan bekerja dikendalikan waktu, tetapi waktu itu yang harus kita kendalikan” (Don’t work for the time but the time work for us).
- Saya tidak pandai (I am not clever). Pernahkan Anda ragu-ragu ketika akan mengikuti kompetisi dalam sebuah event. “Wah teman-teman lain semua terpelajar, berpendidikan tinggi, berpengalaman dan sebagainya. Sementara saya…”. Perasaan ini seringkali menggelayuti pribadi kita. Jika demikian halnya, maka kita artinya telah membatasi diri dengan perasaan tersebut. Padahal Allah sebenarnya telah memberikan modal yang sama pada diri setiap orang. Bahwa setiap bayi yang lahir, sudah diberikan 1 trilun sel saraf. Dari 1 triliun sel saraf itu,100 milyar untuk berpikir sedangka 900 miliar fungsinya adalah memberikan nutrisi, memberikan suplai makanan kepada sel saraf yang 100 milyar. Menurut penelitian Profesor Onstein bahwa ketika satu sel saraf dari 100 miliar itu diambil, ternyata bisa menciptakan 20 ribu hubungan, 20 ribu cabang di dalam otak kita yang begitu kecil. Ini artinya di dalam kepala setiap orang sebenarnya lebih canggih dari komputer tercanggih model apapun. Dengan demikian, apa sebenarnya yang menjadikan kita merasa tidak pandai?
- Saya tidak punya bakat (I am not talented). Sering terjadi ketika kita diminta untuk mengisi pengajian, khutbah atau sekedar kultum di masjid atau mushola, serta merta kita menjawab, ”Wah saya tidak punya bakat”. Bagaimana mungkin saya menjadi seorang pemimpin (leader), bagaimana mungkin saya menjadi mubaligh? Rasanya tidak mungkin, karena saya tidak berbakat dalam kehidupan ini. Cobalah perhatikan dan baca biografi orang-orang sukses di dekitar kita, apakah mereka semua memiliki bakat dengan bidang yang ia geluti? Sebagian kemungkinan akan mengatakan bahwa awalnya meraka tidak mengetahui bahwa bakat mereka di bidang itu, tetapi toh pada akhirnya tetap dapat sukses. Hal ini sangat jelas tersurat dalam ayat berikut:
- Saya tidak cantik/tampan (I am not beautiful/handsome). Perasaan ini sering menjadikan kita tidak percaya diri untuk bergaul dengan banyak orang, merasa minder, malu dan sebagainya. Ini wajar. Tetapi, ketika karena perasaan tersebut lantas menajdi halangan mencapai keberhasilan atau kesuksesan adalah sebuah masalah besar. Bukankah Allah SWT telah menegaskan dalam firman-Nya:
- Saya tidak beruntung (I am not lucky). Seringkali kita menyatakan diri sebagai orang yang tidak beruntung, atau dalam bahasa sehari-hari ”belum nasib”. ”Nasib” seringkali menjadi kambing hitam bagi seseorang meraih sesuatu yang besar. Padahal Allah SWT sangat jelas menegaskan berkaitan dengan soal ini:
- Saya tidak kaya (I am not rich). Perasaan sebagai orang miskin, kadangkala menjerat seseorang sehingga tidak berani melakukan pekerjaan besar atau menantang. Betapapun pada kenyataanya kita memang belum memiliki kekayaan ekonomi melimpah, tetapi hal ini tidak harus menghalangi meraih sesuatu yang besar. Bukankah Allah telah menjadikan kita ini menjadi makhluk yang mulia dan memberikan rezeki, serta kelebihan pada diri setiap orang. ”Dan Sesungguhnya Telah kami muliakan anak-anak Adam, kami angkut mereka di daratan dan di lautan, kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang Sempurna atas kebanyakan makhluk yang Telah kami ciptakan”.(QS. Al Israa’: 70)
- Saya orang yang biasa-biasa saja (I am a common person). Saya ini orang biasa-biasa saja, bukan keturunan ningrat, bukan dari keluarga terpandang, bukan dari keturunan kyai dan sebagainya merupakan salah satu yang menyebabkan seseorang tidak berani melakukan pekerjaan atau sesuatu yang luar biasa. Padahal, kemungkinan sebenarnya kita bisa melakukannya dengan baik.
M. Mahlani
Penyuluh Agama Islam Ahli Madya Kota Yogyakarta
Ketua Umum Kelompok Kerja
Penyuluh Agama Islam Kota Yogyakarta
0 komentar:
Posting Komentar