Meninggalkan rutinitas
kehidupan yang tidak pernah berhenti, sejenak akan menjadikan kita kembali pada
‘zero mind’ untuk mengingat, apa sebenarnya yang terjadi dan untuk apa
keberadaan kita dihadirkan ke dunia ini. Untuk ini, kita perlu mengingat dan membaca
ulang surat ayat berikut:
Dan Kami berfirman: "Hai Adam, diamilah
oleh kamu dan isterimu surga ini, dan makanlah makanan-makanannya yang banyak
lagi baik di mana saja yang kamu sukai, dan janganlah kamu dekati pohon
ini ¹), yang menyebabkan kamu termasuk orang-orang yang zalim. (QS. Al
Baqarah 2 : 35; lihat juga: Al A’raaf , 7: 11–25; dan Thaahaa, 20: 115–127.)
Allah SWT memberitakan kisah yang pernah
terjadi jauh sebelum kehidupan ini ada, firman-Nya: “Sesungguhnya Aku hendak
menjadikan seorang khalifah di bumi.” (QS. Al Baqarah, 2:30). Para malaikat tidak
mengerti apa dibalik kehendak Allah, seraya berargumen bahwa makhluk yang akan
dicipta nanti adalah orang yang akan membuat kerusakan di bumi serta
menumpahkan darah. Padahal Malaikat senantiasa bertasbih dengan memuja dan
mensucikan-Nya. Tatkala makhluk baru yang bernama Adam itu diciptakan, lantas
diterangkan: Dan (ingatlah) ketika Kami berkata kepada para malaikat:
"Sujudlah kamu kepada Adam," maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia
enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang kafir (QS. Al Baqarah, 2: 34-36).
Pertanyaannya adalah mengapa peristiwa yang
tersurat dalam Al Qur’an seperti di atas begitu penting di sisi Allah SWT,
sehingga menjadi penyebab awal adanya peristiwa dahsyat yang melahirkan
perubahan di alam semesta. Rangkaian kisah dengan klimaks di satu ayat (QS
2:36) yang membawa perubahan besar pada terjadinya alam semesta dan bumi yang
menghampar dengan segala struktur alam raya yang terbentang luas dan tak
terjangkau akal manusia. Perilaku Adam dan Hawa di sisi Allah SWT yang
menyebabkan-Nya mengeluarkan Adam dan Hawa untuk tinggal di bumi yang kecil
dibandingkan alam semesta yang begitu luasnya.
Allah SWT memerintah Adam untuk mendiami surga
dengan segala fasilitas dan kenikmatannya setelah ia menjalani beberapa tahapan
kehidupan yang baru saja dijalaninya. Pertama, Nabi Adam berhasil
memperlihatkan kecakapan akan ilmu pengetahuan yang Allah berikan dengan menyebutkan
nama-nama benda kepada para malaikat dan iblis. Kedua, posisi iblis yang
terang-terangan menyetakan sikap penolakannya kepada Allah SWT dan membuatnya
menjadi makhluk yang dilaknat. Dalam hal ini, SWT mempersilahkan Adam untuk
bersenang-senang bersama Hawa, untuk menikmati makanan yang disediakan tanpa
mengecewakan. Di mana saja tempat yang Adam sukai tanpa dibatasi jumlah
kenikmatan dan seberapa banyak fasilitas yang bisa dinikmati kecuali
satu hal, yaitu janganlah kamu dekati pohon ini.
Mencermati beberapa tafsir dijelaskan bahwa
kata jannat berarti suatu tempat yang dipenuhi pohon, taman - taman yang
indah. Jannat dan juga limpahan kebutuhan didalamnya termasuk izin
keleluasaan yang Allah berikan kepada Adam adalah simbol kenikmatan dan
fasilitas kebebasan juga kewenangan untuk melakukan segala keleluasaan surga
yang sebegitu luasnya kecuali satu hal yaitu sebuah pohon, hal yang teramat
kecil bila dibandingkan dengan kenikmatan yang Adam peroleh. Lalu marilah kita
sama-sama menilik kisah ini secara mendalam, mampukah bekal ilmu pengetahuan
yang sebelumnya Adam peroleh, termasuk bertatap langsung dengan keagungan Allah
SWT yang menciptakannya dan juga terusirnya iblis atas pembangkangannya
menjadikannya sebagai sebuah pelajaran mampu mencegahnya dari ingkar kepada Rabbnya?
Ternyata, ilmu yang Adam miliki, kehormatan
karena kemuliaan yang diberi, keistimewaan bertemu dengan sang Khalik langsung
dan juga menyaksikan dengan mata kepala sendiri betapa murkanya Allah SWT
kepada iblis yang membangkang perintahNya, itu semua tidak cukup menahan Adam
untuk tidak mendekati pohon tersebut. Maka peristiwa itulah yang menyebabkan
perubahan alam dan kita semua ada saat ini. Betapa mahal harga yang ditebus
untuk mendidik kita menjadi hamba mulia dan mampu kembali ke tempat asal di
surga sana. Maka maukah kita menjadikan ini sebagai pelajaran berharga?
Jika mendekati sebuah pohon saja mengakibatkan
perubahan alam yang luar biasa, menjadikan-Nya mencipta tempat singgah (bumi)
bagi Adam yang terusir, padahal perintah Allah SWT sangat sederhana, bahkan
tidak merusak tatanan lingkungan disana. Lalu, pertanyaannya adalah di mana tempat yang cocok bagi kita? Bagaimana dengan
ahli ilmu yang melakukan kedustaan? Bagaimana dengan pencuri dan koruptor yang
membunuh masyarakat dengan perlahan? Bagaimana kaum munafiq yang
berlaku nista dengan jubah ketaqwaan? Dimana tempat
yang cocok untuk orang yang bersiul-siul tenang, menutup mata, hati dan
fikiran? Dan dimana tempat bagi orang yang tak mampu lagi
membedakan dzulumat wa nur?
Ketahuilah, bukanlah soal pohonnya yang membuat
perubahan reposisi Adam, lihatlah lebih dalam, jernihkan hati. Bukanlah halal
haram, bukanlah masalah obyek dan materi kebendaan, tetapi bagaimana setiap kita dapat menghargai keberadaan Allah SWT di atas segala
hasrat, keinginan dan ambisi. Adakah makna Laa ilaahaillallah
benar-benar menghunjam kuat di dalam
perilaku? Bagaimanakah
tubuh kita ini bisa bersikap santun, percaya dan menghargai keberadaan-Nya?
Konon ada begitu banyak pohon di dunia yang
menggoda, tiga diantaranya begitu tersohor muatannya yaitu pohon harta,
pohon tahta dan pohon wanita. Memang banyak yang
mendekati pohon itu karena belum diberitakan ilmunya. Namun
banyak juga yang teramat kuat dorongannya bahkan badannya masih jauh tetapi tangannya sudah menggapai-gapai, angan-angannya
lebih panjang lagi, lidahnya menjulur-julur pula. Sebagian di antaranya sudah cukup bekalan ilmunya. Ambisi
untuk hidup abadi dalam kesenangan sebagaimana hembusan rayuan iblis kepada Adam untuk mendekati pohon agar mendapat
kenikmatan abadi.
Iblis bermuslihat dalam argumentasi yang seolah
fakta bahwa kenikmatan yang Adam nikmati tidak kekal itulah yang menyebabkan
Allah SWT melarang mendekati pohon tersebut. Akhirnya,
terbukti bahwa hembusan iblis berhasil menipu daya Adam. Itulah
saat di mana terbukti dan tersingkap kebenaran Allah SWT dan kedustaan iblis.
Iblis juga menjadikan manusia memandang baik
perbuatan buruk dan menghiasinya
dengan kecintaan-kecintaan secara perlahan dengan memandang halal perbuatan
haram. Kecemasan kalau kenikmatan dan fasilitas tidak kekal atau mempertahankan kondisi nyaman yang ingin
dipertahankan terus-menerus tak ingin bila segera usai. Al Qur’an menggambarkannya
sebagai berikut:
Iblis berkata: "Ya
Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat, pasti aku akan
menjadikan mereka memandang baik (perbuatan ma'siat) di muka bumi, dan pasti
aku akan menyesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang mukhlis
di antara mereka.” (QS Al Hijr, 15 : 39-40)
Ada sebuah nasihat yang
selalu diingat sampai saat ini, yaitu: “Ketahuilah bahwa hati yang bersih akan
melahirkan kebenaran, sebaliknya hati yang kotor hanya akan melahirkan
pembenaran-pembenaran dan alasan-alasan yang kuat”. Jadi, ketika seseorang
banyak berdalih melakukan pembenaran dan begitu banyak alasan di saat tangannya
nyata-nyata berlumpur, itu hanyalah mencerminkan kekotoran jiwa yang
sesungguhnya. Ketika seseorang nyata-nyata melakukan perbuatan haram tapi
bersikap tenang dengan alibi, dalih dan pembenaran maka itulah cerminan
kekotoran jiwa, kekotoran aqidah yang dikemas dengan rapi sehingga mampu
meyakinkan banyak orang. Kehidupan dunia telah menipu mereka, dan mereka
menjadi saksi atas diri mereka sendiri, bahwa mereka adalah orang-orang yang
kafir (QS Al An’am, 6
:130). Mereka adalah orang-orang kafir yang tertutup
mata dan hatinya, atau mereka sendiri yang menutup
kebenaran sesudah sampai kebenaran pada akalnya.
Allah SWT mengatakan dalam firmanNya : “Dan
barangsiapa yang buta (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat (nanti) ia
akan lebih buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan (yang benar)”. (QS. Al Israa’, 17 : 72)
Maka, hendaknya jihad dilakukan sejak ia masih
merupakan bisikan hati. Bukankah setan menjerumuskan manusia dengan membisikkan
ke hatinya, sebagaimana iblis menghembuskannya kepada Adam. Selain itu potensi
fujur dan taqwa dalam diri manusia tidak terjadi begitu saja, tetapi melalui proses yang panjang. Kebaikan
seseorang pasti dimulai dari niat dan ide-ide
positif yang melahirkan perbuatan yang baik dan bila dilakukan berulang-ulang akan
menjadi kebiasaan yang baik.
Begitupula keburukan seseorang tidak terjadi
begitu saja. Tetapi, pasti melalui proses yang panjang sedikit
demi sedikit sejak masih berupa bisikan, rencana-rencana, gagasan-gagasan dan ide-ide yang diwujudkan dalam aktivitas,
kegiatan, proyek-proyek dan segala hal yang dilakukan terus-menerus. Allah SWT memberi pahala kepada seseorang yang berniat melakukan kebaikan
meskipun tidak terlaksana, maka menghalau fikiran buruk dan membatalkan
aktivitas yang fasik adalah sebuah jihad hati dan fikiran.
Kalau Nabi Adam menjadi terusir dari
kedudukannya yang terhormat ke bumi, manusia mungkin tidak perlu terusir
kebumi-bumi lain yang lebih rendah. Cukuplah
martabat itu menjadi grade bagi kedudukan dan kemuliaan seorang hamba di
hadapan Allah SWT. Kalau di atas dibahas, mampukah segala ilmu yang Adam
peroleh mencegahnya dari tipu daya iblis, maka pelajaran dan hikmahnya adalah
mampukah ilmu yang kita miliki mencegah kita dari melakukan perbuatan fasik,
munafiq dan kekafiran yang diilhami iblis dan antek-anteknya. Begitulah,
sesungguhnya segala perbuatan yang dilakukan oleh manusia adalah cerminan dari
kedekatan seorang hamba kepada Rabbnya.
Semua informasi tentang kisah yang dialami oleh
Adam as dan Hawa merupakan pelajaran yang teramat mahal dan sangat berharga
bagi kehidupan dunia yang kenikmatannya hanya bersifat sementara. Semoga kisah
ini menjadi inspirasi panjang yang tidak
pernah bosan untuk dipelajari bagi hamba-hamba yang ikhlas dan rela menahan
kesabaran di dunia yang fana ini. Semoga kita bisa
pulang ke kampung akhirat dengan bahagia. Wallahua’lam. (Dari berbagai sumber)
Kusmanto
Penyuluh Agama Islam
Fungsional Kota Yogyakarta
Wilayah Kerja Kecamatan
Umbulharjo
0 komentar:
Posting Komentar