Sabtu, 19 April 2014
Islam adalah agama yang sangat perhatian kepada kemaslahatan umat
manusia. Saking perhatiannya, Islam telah memberikan bimbingan dan pengaturan
terhadap hampir seluruh aspek kehidupan bahkan mengenai hal yang sangat pribadi
sekalipun. Dalam kehidupan pribadi, Al-Qur’an dan Hadits Nabi SAW telah begitu
banyak memberikan tuntunan kepada kita, baik tentang anjuran pernikahan, siapa
yang boleh dan tidak boleh dinikahi, cara mengurus dan mendidik anak dan
keluarga, adab bertamu, adab hubungan antar anggota keluarga, sampai tuntunan
tentang wasiat dan waris. Akan tetapi, apakah kita sudah tahu, paham dan
menjalankan berbagai tuntunan tersebut. Bukankah orang bijak mengatakan bahwa
kesuksesan seseorang ditentukan oleh kesuksesan dalam mengurus keluarganya. Dalam kesempatan ini, penulis
akan membahas suatu persoalan yang sangat penting bagi setiap pribadi muslim
dewasa baik yang belum menikah maupun yang sudah menikah, yaitu permasalahan
jodoh.
Jodoh kurang tepat kalau hanya dimaknai dengan pasangan suami / istri, melainkan lebih
pada makna pilihan yang cocok dan serasi
dalam segala aspek kehidupan. Jadi setiap orang pasti punya jodohnya
masing-masing meskipun sampai akhir hayatnya tidak menikah, karena pilihan
tidak menikah itulah jodohnya. Makanya dalam Islam, menikah bukanlah kewajiban
tetapi lebih pada sunnah Nabi SAW. Artinya, boleh saja seseorang memilih tidak
menikah, tetapi dengan tidak menikah berarti ia tidak itba’ dan tidak taat pada sunnah Nabi SAW. Dan ini pula yang
diisyaratkan dalam suatu Sabda Nabi SAW bahwa menikah sama artinya dengan telah
menjalankan separoh agama. Maka bagi
muslim/muslimah dewasa yang belum menikah, segeralah menikah!
Jadi persoalan jodoh tidak
hanya berkaitan dengan upaya mencari pilihan istri / suami, tetapi juga
berkaitan dengan berbagai upaya mencari pilihan-pilihan yang lain seperti:
pilihan pekerjaan, pilihan organisasi, pilihan politik dan lain sebagainya. Namun
demikian, penulis tetap akan mendasarkan pembahasan pada dalil / nash yang
sering disampaikan dalam acara pernikahan yaitu QS. Ar-Rum: 21. berikut:
Dan di antara
tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu
dari jenismu sendiri, agar kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
Dia menjadikan di antaramu rasa cinta dan sayang. Sungguh, pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.
(QS. Ar-Rum: 21)
Teks ayat tersebut memberikan isyarat akan pentingnya menemukan
jodoh-jodoh (azwaj) yang sesuai
dengan kesamaan fisik, kepribadian, keyakinan dan lingkungan (min anfusikum). Artinya sebenarnya
berbagai jodoh tersebut sudah ada dalam diri kita masing-masing. Namun,
bagaimana tanda-tanda kehadiran jodoh tersebut bisa diketahui? Hal itulah yang
dikemukakan dalam ayat tersebut bahwa jodoh itu mempunyai tiga prasyarat atau
karakter berikut:
Rasa Tenang (litaskunu ilaiha)
Rasa Tenang atau ketenangan adalah suatu kondisi kejiwaan yang selalu
berkecenderungan pada kenyamanan, ketentraman, keamanan dan kesenangan. Rasa
tenang ini akan semakin bertambah ketika diiringi dengan sikap ketundukan,
kepasrahan, ketaatan, keakraban dan loyalitas. Dalam konteks pasangan
suami-istri, seorang istri akan semakin tenang dengan suaminya ketika ia
semakin tunduk, pasrah, patuh, akrab dengan suaminya; dan begitu juga
sebaliknya. Demikian juga dalam konteks pekerjaan, seseorang akan semakin
tenang bekerja ketika ia semakin patuh, akrab dan loyal dengan segala macam
pernak-pernik pekerjaan tersebut.
Akan tetapi, rasa tenang ini baru akan terjadi kalau sebelumnya ada
kepastian, kemantapan, keterikatan yang bersifat kekinian atau kesegeraan. Hal
ini diindikasikan dari teks ayat yang menyebutkan “Rasa Tenang” (litaskunuu) itu dalam bentuk fi’il mudhari’ (kata kerja) yang
bersifat kekinian dan masa depan. Artinya ketenangan itu membutuhkan proses
yang disegerakan. Dalam konteks
perkawinan, ketenangan baru akan terjadi setelah adanya ikatan pernikahan.
Dalam konteks pekerjaan, ketenangan baru akan muncul setelah adanya perjanjian
pekerjaan.
Dikarenakan adanya unsur
kepastian dan keterikatan tersebut, maka ketenangan memang membutuhkan aspek
pemaksaan untuk mematuhi segala aturan dalam ikatan atau perjanjian yang telah
dilakukan tersebut. Bisa jadi ketenangan belum muncul sebelum adanya ikatan
tersebut, tetapi dengan selalu mengikuti proses pematuhan dan kepasrahan
terhadap aturan ikatan tersebut maka ketenangan secara perlahan akan tumbuh
berkembang dalam dada setiap orang yang mengharapkannya. Jadi walaupun sebelum
menikah pasangan suami-istri tidak saling suka, maka setelah menikah keduanya
harus belajar saling menyukai minimal hanya untuk memenuhi kewajiban
suami/istri dalam pernikahan.
Adapun ketenangan yang muncul
sebelum didahului adanya ikatan, sebelum menikah atau sebelum penanda-tanganan
kontrak kerja, hanyalah ketenangan palsu yang bersifat sementara. Hal itu dikarenakan
ketenangan tidak diiringi kepastian dan kemantapan yang dijaga dalam ikatan dan
perjanjian yang mengikat. Meskipun sudah berlama-lama pacaran, merasakan
hubungan di luar nikah, memadu kasih kesana-kemari, tetapi selagi hubungan itu
belum diikat melalui pernikahan maka bukannya ketenangan yang didapat melainkan
keresahan, kekhawatiran, ketakutan dan penyesalanlah yang akan ditemui. Begitu
pula dalam pekerjaan, meski telah bekerja mati-matian dalam suatu bidang atau
perusahaaan, tetapi jika belum ada perjanjian atau kontrak kerja yang pasti
maka tetap akan selalu khawatir.
Masalah ketenangan ini juga
sangat terkait dengan perilaku beragama. Islam baru akan memberi ketenangan
bagi pemeluknya setelah setiap pemeluk agama Islam tersebut benar-benar beriman
akan agamanya. Dan untuk membangun keimanan tersebut, setiap muslim harus
selalu memantapkan dan memastikan keislamannya yang didahului pengucapan ikrar
keislaman yaitu ber-syahadat kepada
Allah SWT dan Nabi SAW. Dengan bermodalkan syahadat
ini, seorang muslim berkewajiban dan berpeluang untuk membangun keimanannya
dengan cara selalu taat, patuh dan loyal kepada segala perintah, kewajiban dan
tuntunan syariat Islam. Semakin taat seseorang dalam menjalankan syariat agama
maka keimanannya akan semakin kuat, dan semakin kuat keimanan seseorang maka
ketenangan akan semakin dirasakannya. Dan hanya orang berimanlah yang akan
diberikan ketenangan oleh Allah SWT. (QS. Al-Fath: 2).
Di samping adanya unsur
kepastian dan ikatan, rasa tenang juga meniscayakan adanya pemberian atau
pengorbanan baik yang berupa materi maupun non materi. Hal ini berfungsi untuk
memberikan kesucian atas ketenangan yang diharapkan. Lebih-lebih lagi,
pemberian ini sangat dibutuhkan dalam rangka memantapkan hati dan memastikan
keinginan dalam sebuah ikatan. Makanya, ketika seseorang menikah diwajibkan
untuk memberikan mahar; ketika
seseorang akan menandatangani kontrak kerja biasanya diharuskan untuk membayar
uang pendaftaran atau dalam bentuk lain; demikian pula dalam Islam setiap
muslim diwajibkan untuk menunaikan zakat
ketika sampai nisab dan haulnya.
Rasa Cinta (mawaddah)
Rasa Cinta merupakan suatu
kondisi kejiwaan yang selalu memberi dorongan untuk saling berdekatan, menarik
perhatian, merindukan, dan menyatu satu sama lain baik secara fisik maupun
mental. Rasa cinta terkait berkelindan dengan hawa nafsu, saling bersinggungan
dan memberi kekuatan meskipun keduanya mempunyai perbedaan. Rasa cinta lebih
berorientasi pada pemuasan psikis kejiwaan meskipun sering dimediasi melalui
kepuasan fisik biologis. Sedangkan hawa nafsu lebih berorientasi pada kepuasan
fisik biologis meskipun terkadang didahului dengan pemuasan psikis ideologis.
Meskipun demikian, keduanya merupakan hubungan timbal balik, saling memberi dan
menerima, yang sama-sama masih mendasarkan pada kenyataan material. Artinya, mawaddah merupakan bentuk hubungan rasa
cinta yang didasarkan pada hal-hal yang bersifat material, fisik, dan biologis.
Adanya kenyataan bahwa rasa
cinta masih didasarkan pada materi, bukan berarti cinta sama dengan hawa nafsu.
Karena hubungan cinta selalu berupaya membangun hubungan saling menguntungkan
satu sama lain. Masing-masing pihak selalu termotivasi untuk (bermental) “memberikan
keuntungan dan kelebihan” pada pasangannya atau pihak lain. Hal ini berbeda
dengan hawa nafsu yang senantiasa berupaya “mencari keuntungan” pada pasangan
atau pihak lain sehingga cenderung bermental meminta ketimbang memberi atau
menguntungkan pasangannya atau pihak lain.
Dalam konteks perkawinan,
seorang suami yang cinta pada istrinya akan selalu ingin dan berupaya
memberikan atau menguntungkan istrinya apakah itu memberi kelebihan harta,
kepuasan seksual, jaminan perlindungan dan sebagainya. Sebaliknya jika suami
selalu meminta dan menuntut kelebihan apapun dari istrinya berarti ia masih
didominasi hawa nafsu ketimbang cinta. Dan demikian pula hal ini berlaku bagi
sang istri kepada suaminya. Dalam konteks pekerjaan juga demikian, jika
seseorang selalu ingin dan mengupayakan keuntungan atau prestasi bagi pekerjaan
tersebut berarti ia cinta pekerjaannya, dan sebaliknya jika ia lebih banyak
menuntut misalkan besarnya upah ataupun fasilitas namun hasil kerja tidak
sepadan berarti ia belum cinta pekerjaan tersebut tapi lebih bernafsu atau
berambisi pada pekerjaan itu.
Dalam Islam,
hubungan percintaan ini selalu menjadi anjuran dan penekanan dalam segala aspek
kehidupan. Tidak hanya dalam hubungan perkawinan atau pekerjaan, dalam perilaku
beragama pun Islam sangat menganjurkan umatnya untuk berbuat berdasarkan rasa
cinta yang sering diungkapkan dengan istilah Ihsan. Dalam sebuah sabdanya, Nabi SAW telah menjelaskan bahwa ihsan merupakan “bentuk penghambaan
kepada Allah SWT seperti kita melihat-Nya secara langsung, dan jika kita tidak
bisa melihat-Nya langsung maka yakinlah bahwa Allah SWT pasti melihat kita
hambanya”. Artinya, perbuatan ihsan
selalu termotivasi untuk melakukan perintah Allah SWT sebaik-baiknya seperti
pekerjaan di bawah pengawasan-Nya langsung meskipun kita tidak bisa
melihat-Nya.
Seperti
halnya arti dasar kata Ihsan yaitu
membuat lebih baik, indah, lengkap dan sempurna, maka seseorang yang ihsan akan selalu berusaha berprestasi dan
memberi kelebihan dan keuntungan pada siapapun, kapanpun dan di manapun. Dan
perlu dipahami pula bahwa ihsan
selalu didasari dan membutuhkan materi yang perlu diperbaiki dan memperbaiki,
dilengkapi dan melengkapi. Dengan demikian perbuatan ihsan juga meniscayakan adanya hubungan timbal-balik (transaksi)
yang bersifat materi.
Jadi
perilaku ihsan merupakan cerminan dan
manifestasi rasa cinta seorang hamba pada kekasihnya yaitu Allah SWT.
Dikarenakan ihsan dan rasa cinta berada pada tataran materi, maka sesungguhnya
Allah SWT menghendaki kita berbuat dan berperilaku yang realistis sesuai
kenyataan hidup masing-masing. Berdasarkan hal ini, setiap muslim yang ingin
menumbuhkembangkan keimanan dalam dirinya harus selalu berperilaku ihsan, suka memberi, membantu, menolong
dan mensejahterakan secara materi terutama kepada mereka atau sesuatu yang
paling dekat dengan kehidupan kita, baik istri, keluarga, pekerjaan, lingkungan
sosial, dan lain sebagainya. Makanya, seseorang yang mencintai agamanya akan
selalu suka memberi infaq untuk
kepentingan agama; seseorang yang mencintai istri atau suaminya akan selalu
memberi nafkah yang sebaik-baiknya
pada pasangannya; seseorang yang mencintai pekerjaannya akan selalu memberikan prestasi
dan disiplin pada pekerjaannya.
Dalam teks
ayat tersebut di atas, rasa cinta merupakan karakter atau prasyarat urutan
kedua setelah rasa tenang. Artinya hubungan yang mendasarkan rasa cinta
tersebut harus didahului oleh hubungan rasa tenang yang meniscayakan adanya
ikatan yang pasti. Dengan kata lain, hubungan percintaan di luar ikatan
penikahan; baik hubungan sebelum nikah
dalam bentuk hubungan badan saat pacaran (zina
ghairu muhsan) maupun hubungan setelah nikah dalam bentuk perselingkuhan (zina muhsan); sangat dilarang /
diharamkan dalam Islam. Hal itu dikarenakan hubungan percintaan di luar nikah
tersebut lebih didasarkan pada dorongan hawa nafsu bukan karena rasa cinta.
Hubungan yang
didasari hawa nafsu tersebut, di samping dilarang agama, ia sangat merugikan
salah satu pihak (terutama perempuan) karena tindakan tersebut tidak bisa
dipertanggungjawabkan baik secara hukum agama maupun hukum negara. Ini pula
yang mengharuskan hubungan percintaan didahului dengan ikatan pernikahan yang
sah secara agama maupun negara sehingga hubungan tersebut penuh tanggung jawab,
ketentraman dan keberkahan dalam perlindungan ikatan yang sangat kuat (mitsaqan ghalizha) tersebut.
Rasa Sayang (rahmah)
Ketika seseorang sudah
merasakan nikmatnya rasa tenang dan indahnya saling mencintai, maka Allah SWT
akan menganugrahkan suatu Rasa Sayang dalam jiwanya. Rasa Sayang (rahmah)
merupakan suatu kondisi kejiwaan yang selalu mendorong seseorang untuk penuh
kasih, suka menolong, mudah memberi, menguntungkan orang lain, dan senantiasa
berbuat tanpa pamrih. Banyak orang yang menyamakan makna rasa sayang dengan
rasa cinta, meskipun antara keduanya mempunyai perbedaan. Kalau rasa cinta
merupakan suatu keinginan untuk saling memberi, mendekat dan menyatu secara
fisik biologis; maka rasa sayang lebih pada suatu keinginan untuk saling
memberi, mendekat dan menyatu secara psikis ideologis. Kalau rasa cinta sangat
dekat dengan hawa nafsu, hasrat seksual, ambisi materi dan bias kebendaan; maka
rasa sayang cenderung menjauh dan membersihkan diri dari itu semua.
Dalam konteks pasangan
suami-istri, rasa sayang lebih pada keanggunan jiwa yang muncul dari hubungan timbal balik, saling
memberi dan menerima, namun tidak terkait pada hal-hal yang bersifat seksual biologis.
Meskipun rasa sayang muncul dari hubungan saling memberi dan menerima, tetapi
keinginan untuk selalu memberi lebih diutamakan ketimbang keinginan untuk
menerima. Dengan kata lain, orang yang memiliki rasa sayang akan selalu ingin
memberi, menyenangkan, memanjakan dan menguntungkan pasangan atau pihak lain,
meskipun pada akhirnya sama sekali tidak mendapatkan keuntungan secara materi
padanya. Makanya rasa sayang ini akan sangat kelihatan ketika pasangan
suami-istri sudah memasuki usia tua di mana hasrat seksual bagi keduanya sudah
tidak dipentingkan. Rasa sayang juga sangat terlihat dalam hubungan antara ibu
dan anak, orang tua dan anak, kakek/nenek dan cucu di mana hubungan terjalin
sangat hangat, dekat dan mesrah namun jauh dari hasrat seksual.
Begitu juga dalam konteks
pekerjaan, seseorang yang bekerja atas dasar rasa sayang terekspresi dalam
motivasi bekerja bukan untuk mengharapkan upah tapi lebih pada kesenangan
belaka atau karena dorongan batin untuk mengabdi pada pekerjaan tersebut.
Mereka yang bekerja atas dasar sayang ini, tidak begitu peduli pada besaran
upah yang didapat atau bahkan tidak menerima upah sama sekali, tetapi lebih
pada kepuasan batin untuk melakukan pekerjaan tersebut. Dalam istilah umum, hal
ini lebih sering disebut kerja sosial (social work) dan pelakunya
disebut pekerja atau aktivis sosial. Atau bisa jadi, seseorang yang betul-betul
bekerja untuk kebutuhan hidup kesehariannya, tetapi motivasinya bukan untuk
upah melainkan untuk mengabdi pada seseorang yang mempekerjakannya, seperti
seorang abdi dalem yang bekerja/mengabdi pada seorang raja. Demikian juga
seseorang yang bekerja hanya untuk berkarya dan kepuasan idealisme pribadi
seperti halnya seniman ataupun filsuf dan penulis, yang sering kali tindakan
dan karyanya tidak dihargai secara materi oleh orang lain.
Begitulah rasa sayang yang
selalu mendorong untuk memberi, menyenangkan dan menguntungkan orang lain tanpa
pamrih. Dalam bahasa agama, rasa sayang ini lebih dekat dengan istilah ikhlas.
Dalam bahasa Arab, ikhlas berarti upaya menuntaskan, mengosongkan dan
memurnikan dari sesuatu. Dalam pengertian Islam, ikhlas merupakan upaya membersihkan, mensucikan, memurnikan jiwa
dari segala hal yang mengaburkan, mengotori dan merusak keintiman/ketauhidan
hamba dengan Allah SWT. Islam selalu menganjurkan penganutnya untuk bersikap ikhlas dalam beribadah. Dalam al-Qur’an,
Allah SWT hanya memerintahkan manusia untuk ikhlas
dalam beribadah dalam konteks agama atau ketauhidan (QS. Al-Bayyinah: 5). Jadi
ikhlas itu sangat dianjurkan dalam setiap perilaku ritual peribadatan dan
segala aktivitas di bawah misi ketauhidan, seperti dalam sholat, zakat, puasa,
haji, dan ibadah lainnya. Keikhlasan juga berlaku bagi segala perkataan,
perilaku dan aktivitas yang bernilai atau berorientasi ibadah seperti membaca
al-Qur’an, mengucapkan salam, mengucapkan basmalah dan kalimat thoyyibah lainnya.
Ketika seorang hamba sudah
bisa melatih dan membiasakan dirinya untuk ikhlas
dalam ibadah, maka Allah akan menyirami dan menghiasi jiwanya dengan pesona
kasih sayang yang terlihat dalam perkataan, perbuatan, perilaku dan
kepribadian. Kemana saja ia pergi selalu
memberi manfaat dan keuntungan pada orang lain dan lingkungan. Sebagaimana rasa
tenang dan rasa cinta, rasa sayang juga selalu ingin memberi bukti dan bakti
secara materi pada orang lain. Dalam konteks perkawinan dan keluarga, pemberian
materi tersebut disebut dengan hadiah;
dalam kanteks pekerjaan lebih dikenal dengan hasil karya atau medali
penghargaan; dan dalam konteks agama sering disebut sedekah.
Orang yang jiwanya penuh
dengan keikhlasan dan rasa sayang sudah tidak peduli dan tidak mengharapkan
balasan apapun dari orang lain atau lingkungannya atas segala jasa dan
sumbangsihnya kecuali hanyalah untuk ridha Allah SWT semata. Seorang suami yang
sayang pada istrinya akan suka memberi hadiah dan kecupan pada istrinya;
seorang pekerja yang sayang pekerjaannya akan senantiasa memberikan hasil karya
dan kemenangan pada pekerjaan tersebut; dan seseorang yang tulus ikhlas
beragama Islam akan selalu berlomba memberi santunan (sedekah) dan keselamatan (salam)
pada sekalian alam (Islam rahmatan
lil’aalamin).
Demikianlah tiga prasyarat dan
karakter adanya jodoh dalam setiap aspek kehidupan kita. Barang siapa yang bisa
menciptakan dan menjadikan apa saja yang dianugrahkan Allah SWT padanya sebagai
jodoh, maka dialah manusia yang paling bahagia dan akan merasakan indahnya
surga di dunia ini. Dan keindahan surga itu sebaiknya diciptakan mulai dari
rumah kita masing-masing, sebagaimana seruan Rasulullah SAW pada setiap umatnya
dengan ungkapan “baiti jannati”
(rumahku adalah surgaku). Istilah itu mengisyaratkan pada kita bahwa rumah atau
keluarga merupakan benteng yang sangat penting dan utama dalam setiap
kesuksesan.
Di dalam rumah, kita bisa
menjadikan istri/suami serta keluarga sebagai jodoh yang bisa memberi
kedamaian; dalam rumah juga, kita bisa belajar dan mendidik pribadi dan
keluarga untuk menjalankan agama dan menikmati manisnya iman; dan dalam rumah
juga, kita bisa mengawali dan mensukseskan segala pekerjaan berlandaskan
kejujuran, ketekunan dan kesalehan. Mudah-mudahan kita semua segera menemukan
dan menggapai jodoh kita masing-masing, amin.
Fahrur Rozi
Penyuluh
Agama Islam Fungsional Kota Yogyakarta
Wilayah Kerja
Kecamatan Gondokusuman
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar